RSS

Monthly Archives: June 2012

Teori Futbolisme

Hidup itu seperti sepak bola. Kita tidak bisa meyakini kemenangan hanya dari rekam jejak masa lalu, tapi juga keajaiban yang terjadi dari keberanian kita hari ini. Kekekalan pada akhirnya bukan sekadar keindahan yang tak berubah selamanya. Tapi sebuah momen yang terjadi hanya sepersekian detik. Once you miss it, it’s gone forever!

(menyitir perkataan seorang sahabat yang sama-sama berduka karena tim jagoan kami kalah)

 
Leave a comment

Posted by on June 29, 2012 in Random Thought

 

Cara Mendapatkan Sertifikat HAKI

1. Formulir Pendaftaran. Ada dua cara untuk mendapatkan sertifikasi, yakni secara mandiri dan dengan bantuan konsultan HAKI. Bila melakukan secara mandiri, Anda bisa menuju kantor Ditjen HAKI di kawasan Daan Mogot, Tangerang, Banten atau bila berada di luar daerah bisa menuju Kanwil Kemenkumham atau www.dgid.go.id untuk mendapatkan formulir pendaftaran.

2. Membayar Biaya. Setiap permohonan pendaftaran HAKI akan dikenai biaya antara Rp125.000 hingga Rp600.000, tergantung jenis HKI. Pemohon harus membayar via transfer rekening ke BNI no rek. 19718067 a.n Ditjen HAKI.

3. Melengkapi Berkas. Pemohon harus melengkapi berkas pendamping formulir pendaftaran. Di antaranya kelengkapan identitas (foto kopi KTP, akta pendirian Badan Hukum, dsb), surat pernyataan bahwa HAKI yang didaftarkan benar milik pemohon, berkas yang akan didaftarkan (etiket merek, contoh ciptaan, gambar desain, atau spesifikasi paten), bukti pembayaran.

4. Memasukkan Berkas Pendaftaran. Setelah seluruh berkas lengkap dan membayar biaya yang diperlukan, pemohon harus menuju loket-loket pendaftaran di kantor Ditjen HAKI. Tiap loket akan diberi nama sesuai jenis HAKI. Jangan salah memasukkan berkas pendaftaran ke loket yang dituju.

5. Proses Pemeriksaan dan Pengumuman. Seluruh berkas permohonan yang masuk akan diperiksa oleh pihak Ditjen HAKI mengenai kelengkapan administrasinya. Untuk beberapa jenis HAKI, proses pemeriksaaan masih dilakukan secara manual. Setidaknya, untuk mendapatkan sertifikasi HAKI, berkas pemohon harus melakui proses Pemeriksaaan Administrasi, Pemeriksaaan Substantif, dan masa Pengumuman (memberikan waktu pada pihak lain untuk mengajukan keberatan). Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut antara 6-24 bulan.

Biaya-Biaya yang Harus Dikeluarkan
PATEN:
Permohonan pendaftaran Paten  =  Rp575.000 per permohonan
Permohonan pendaftaran Paten Sederhana  =  Rp125.000 per permohonan
Tambahan biaya  =  Rp40.000 per klaim
Pemeriksaaan Substantif Paten  =  Rp2.000.000 per permohonan
Pemeriksaaan Substantif Paten Sederhana  =  Rp350.000 per permohonan

MEREK:
Permohonan pendaftaran Merek  =  Rp600.000 per permohonan per kelas (maks 3 macam     barang/jasa)
Tambahan permohonan pendaftaran Merek  =  Rp50.000 per macam per kelas (jika lebih dari 3 macam barang/jasa)

HAK CIPTA:
Permohonan pendaftaran Ciptaan  =  Rp200.000 per permohonan
Permohonan Ciptaan program komputer  =  Rp300.000 per permohonan

DESAIN INDUSTRI:
Permohonan pendaftaran Desain Industri Usaha Kecil  =  Rp300.000 per permohonan
Permohonan pendaftaran Desain Industri Non Usaha Kecil  =  Rp600.000 per permohonan

Pengambilan Sertifikat HKI  =  Rp100.000 per permohonan

(Sumber:  Direktorat Jenderal HAKI Depkum HAM. As published on Majalah DUIT! ed 04/April 2012)

 
Leave a comment

Posted by on June 22, 2012 in How to..

 

Tags: , ,

The Spa Baby: Melayani Balita yang Gemar Facial

Oleh karena menyasar segmen anak-anak, The Spa Baby menggunakan produk hipoalergenic dan water based yang aman untuk kulit anak. Bahkan, masker untuk facial yang terbuat dari coklat bisa dimakan.

Anak-anak gemar meniru orang yang lebih tua. Ketika si Ibu menghabiskan waktu di salon untuk facial, menicure-pedicure, atau spa, si kecil pun ingin mencobanya. Beruntung, kini ada The Spa Baby, salon dan spa khusus untuk bayi berusia 1 bulan hingga anak-anak usia 12 tahun. Layanan yang di antaranya baby swim, baby massage, potong rambut, krimbat, menicure-pedicure, hingga facial.

Jangan khawatir, seluruh produk yang digunakan hipoalergenic dan water based sehingga aman untuk anak. Bahkan, untuk facial, The Spa Baby menggunakan bahan-bahan yang fresh dan dibuat di tempat, seperti avokad, strawberry, atau coklat. “Anak-anak suka menjilat coklat yang melumuri wajah mereka,” tutur Dini Sembiring, pendiri sekaligus direktur The Spa Baby. Menurut Dini, facial dengan bahan alami itu membuat anak-anak memuaskan rasa penasaran terhadap perawatan wajah yang dilakukan ibunya, sekaligus merawat wajah imut-imut mereka.

Untuk produk salon lainnya, seperti hair spray, hair gel, atau kuteks, Dini harus mendatangkan dari luar negeri. Karena belum banyak produsen dalam negeri yang mampu membuat produk salon dan spa yang aman untuk kulit bayi dan anak-anak. “Kalau sampo dan oil massage sudah ada perusahaan lokal yang mampu memproduksinya,” jelas perempuan Sarjana Teknik Kimia Purdue University, Indiana, AS ini.

Salon dan spa untuk anak-anak yang berada di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan ini mematok harga layanan antara Rp15.000 hingga Rp350.000. Saban hari setidaknya ada sekitar sepuluh anak-anak merawat tubuh. Sedangkan saat akhir pekan, jumlah itu akan berlipat dua. “Saat weekend, kami selalu menyarankan konsumen untuk membuat perjanjian, terutama untuk layanan baby swim,” kata Dini. Menariknya, layanan untuk anak ini bisa dipanggil ke rumah konsumen. Tentu saja tarif yang dipatok bakal lebih tinggi.

Dini mengakui masih ada sebagian masyarakat yang melihat anak kecil yang melakukan perawatan tubuh, seperti facial, menicure-pedicure, atau spa sebagai bentuk konsumerisme. Padahal, tidak demikian. “Saya selalu mengedukasi bahwa di Spa Baby, seorang anak akan belajar menjaga kebersihan dan kesehatan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menicure-pedicure itu tak hanya memberi kuteks, tapi ada membersihkan dan memotong kuku. Bila sejak kecil mereka terbiasa memiliki kuku bersih, sampai besar pun akan terbawa,” jelas Dini.

Lebih lanjut Dini menyatakan, melayani anak-anak itu tak mudah. “Kulit bayi dan anak-anak amat sensitif, mereka pun belum bisa berkomunikasi dengan baik. Apalagi bayi, bisanya cuma menangis,” keluh perempuan kelahiran Jakarta, 23 Juni 1973. Menurut Dini, bila mood buruk, anak-anak bisa menjerit-jerit, menangis, atau guling-guling di lantai. Kalau sudah begini, karyawan The Spa Baby harus mampu menghibur mereka. Itu sebabnya, Dini amat selektif dalam merekrut tenaga kerja. Menurutnya, karyawan harus mengerti konsumen kecil mereka.

Bersama tiga kawan semasa kuliah di Negeri Seberang, Dini merintis bisnis ini pada 21 Januari 2009. “Kami hanya mempersiapkannya, dari membuat desain, riset, mencari lokasi, hingga renovasi dan membua gerai, dalam enam bulan. Mungkin, kami dulunya orang korporat sehingga terbiasa bekerja dengan deadline,” ungkap Dini, terbahak.

Selain The Spa Baby, perusahaan lain yang menawarkan jasa serupa antara lain salon dan spa bayi Roi & Reine, tempat potong rambut untuk anak Kiddy Cut dan D’Katz. Di sejumlah kota besar di Indonesia, ada juga salon yang membuka layanan untuk anak. Hanya saja, The Spa Baby merupakan pionir di bidangnya. “Kalau ada yang meniru, berarti layanan kami bagus. Tapi, makin banyak kompetitor membuat kami harus memberi layanan lebih bagus dan bergerak lebih cepat dari mereka,” tegas Dini.

Saat ini The Spa Baby memiliki dua gerai, yakni Dharmawangsa Square dan Plaza Indonesia. Dalam waktu dekat, Dini menargetkan akan membuat second brand untuk segmen pasar lebih luas. Tentu saja, oleh karena harga yang bakal ditawarkan lebih miring, layanan yang diberikan pun tak selengkap The Spa Baby. Selain itu, kini Dini tengah menggodok rencana untuk membuka gerai di sejumlah kota di Indonesia. $ ARI WINDYANINGRUM

The Spa Baby
PT The Spa Baby Asia
Dharmawangsa Square,
City Walk Ground Floor #54
Jl. Dharmawangsa VI&IX, Jakarta 12160
Telp : 021-72788288
Faks : 021-72788331
http://www.thespababy.com

(As published on Majalah DUIT! ed 02/2011)

 
Leave a comment

Posted by on June 22, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: ,

Di Kursi Penumpang Sore Itu

Lepas Maghrib ketika saya buru-buru menyetop angkot untuk menuju stasiun. Malam itu saya tak berniat menaiki kereta, tapi demi memuaskan keinginan untuk menikmati semangkok mie ayam yang sempat mendapatkan pujian “Maknyus,” dari seorang Bondan Winarno di sebuah acara televisi.

Hanya butuh sekitar lima menit duduk di kursi penumpang sebelum mencapai tujuan. Tapi, lima menit itu menjadi sangat lama ketika saya tertegun melihat penumpang yang duduk di depan saya. Seorang pria paruh baya berseragam biru kusam dengan tulisan “Satpam” di dada.

Saya bisa melihat sisa-sisa kegagahan di tubuh tinggi besar itu. Tapi, usia tak bisa ditipu. Rambut yang mulai memutih dan kulit yang mulai mengeriput menjadi pertanda jaman. Sebenarnya, bukan masalah seangkot dengan seorang satpam yang membuat saya gundah. Melainkan wajah letihnya.

Kegalauan saya sepanjang hari Minggu itu mendadak lenyap. Sebelumnya, seharian saya mengeluh karena beban pekerjaan yang sebenarnya nggak berat-berat amat, sukses membuat saya emosi jiwa. Saya malas menghadapi hari Senin karena berarti harus berdesakan di kaleng sarden berpendingin udara. Belum lagi dompet yang makin menipis membuat tingkat uring-uringan semakin tebal.

Melihat tatapan kosong si bapak, saya merasa bersalah. Sepertinya saya kok tidak mensyukuri segala nikmat yang telah saya dapatkan. Saya bisa libur di tanggal merah, bisa naik taksi kalau diperlukan, masih bisa makan di luar, dan yang jelas saya dikaruniai kesehatan. Si bapak harus bekerja di hari Minggu dan harus pulang naik angkot. Ia membanting tulang demi kebahagiaan keluarga.

Hari Minggu itu, 17 Juni adalah Hari Ayah Sedunia. Mungkin, si bapak tak pernah tahu karena di negara ini tak pernah dirayakan. Pertemuan tak sengaja di kursi penumpang membuat saya teringat bapak saya. Belated Happy Father’s Day, dad! Love you.

A father is always making his baby into a little woman. And when she is a woman, he turns her back again. (Enid Bagnold)

 
Leave a comment

Posted by on June 20, 2012 in Random Thought

 

Tags:

Sushi Rakyat: Maaf, Kami Hanya Melayani Delivery Order…

Berkat kegemaran makan makanan Jepang, Dini Utami Putri merintis bisnis sushi. Bedanya, Dini tidak mendirikan gerai. Ia hanya melayani delivery order yang dibukanya via social media, telepon, maupun e-mail.

Siapa sih yang tidak kenal sushi? Panganan berupa nasi dibalut dengan lembaran rumput laut alias nori yang berasal dari Jepang ini, tentunya sudah tidak asing lagi di lidah pecinta kuliner tanah air. Restoran yang menjajakannya pun kian tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Penikmatnya dapat dengan mudah mencicipinya dengan mendatangi langsung gerai-gerai sushi di beberapa sudut jalan ibukota hingga restoran mewah di berbagai pusat perbalanjaan.

Tentunya, harga yang dibandrol untuk dapat menyantap sepiring sushi lezat di restoran-restoran tersebut tidaklah murah. Lantas, bagaimana dengan Anda yang berkantong pas-pasan, tapi tetap ingin menikmati sushi sesering mungkin? Bisa jadi, Anda perlu mencicipi Sushi Rakyat racikan Dini Putri Utami.

Dara muda kelahiran Tangerang 22 tahun lalu ini tidak pernah terpikir sebelumnya dari kegemarannya ngemil nori bisa beralih menjadi bisnis sushi pesan antar (delivery order). Dini, begitu biasa disapa, memang pecinta nori. Hingga suatu ketika sang kakak membawakannya oleh-oleh nori dari Singapura. ”Saya memang suka nori. Tapi nori yang kakak saya bawa itu ukurannya terlalu lebar dan besar, saya tidak begitu suka,” kata Dini.

Bingung dengan nori berukuran besar itu, lantas Dini memutuskan untuk memanfaatkan nori tersebut sebagai bahan membuat sushi. Apalagi, Dini pun ternyata juga hobi makan sushi. Sushi awal buatanya kala itu hanya berisi irisan keju dan telur. ”Ketika saya rasakan sendiri, ternyata enak juga untuk dimakan,” ujar Dini. Lantas, sarjana lulusan Ilmu Komunikasi ini pun mulai bereksperimen dengan aneka isian sushi. Kali ini, Dini memutuskan bahwa makanan buatanya memerlukan masukan dari orang lain.

Saya tawarkan ke beberapa teman-teman terdekat dan minta mereka berkomentar. Ternyata mereka suka sushi buatan saya. Bahkan teman-teman saya mendorong saya untuk mencoba menjualnya,” kata Dini. Sempat ada keraguan bahwa sushi buatannya ini akan laku dijual.

Beruntung Dini memiliki teman-teman yang baik dan mendukungnya. Sushi buatannya pertama kali dijajakan di kantor tempat salah seorang teman Dini bekerja. Ternyata sushi Dini disukai. Dari sinilah kemudian Dini semakin pede untuk mulai menekuni usaha sushinya.

Lantas, kenapa dinamakan Sushi Rakyat? ”Saya ingin semua kalangan masyarakat bisa ikut menikmati lezatnya sushi,” jawab Dini lugas. Itu sebabnya, harga yang dibandrol untuk setiap sushi buatannya pun memang terbilang sangat terjangkau. Anda bisa menikmati satu set sushi Crab Stick Roll dengan harga Rp20.000.

Sushi Rakyat ini pun hanya menyajikan sushi dalam keadaan matang saja, sehingga Anda yang tadinya ogah menyantap sushi bisa menjadi ketagihan menikmatinya. Dini menjamin bahwa sushi buatannya halal dan rasanya cocok dengan lidah orang Indonesia.

Filosofi Cina

Jika Anda selama ini harus datang langsung untuk menyantap sushi, dengan Sushi Rakyat, Anda tinggal pesan dan hadirlah sushi di depan rumah ataupun kantor Anda. ”Kami memang hanya melayani delivery order saja. Cukup dengan pesan lewat Twitter, Facebook, telpon, email atau posting di blog saya, sushi akan diantarkan ke tempat Anda,” ujar Dini yang kini dibantu oleh empat orang karyawan dalam mengantarkan sushi-sushinya.

Pilihan beragam komunikasi yang ditawarkan Dini, tak lain adalah salah satu strategi dalam memasarkan produknya dan mendekatkan diri dengan calon pelanggannya. ”Bahkan saya juga menjajakan lewat Blackberry Messanger,” kata Dini yang mengingatkan untuk melakukan pemesanan sehari sebelum sushi diantarkan. Walau Sushi Rakyat bermarkas di Tangerang, pesanan terbuka untuk para penikmat sushi yang bermukin di Jakarta.

Usia Sushi Rakyat memang terbilang masih seumur jagung yang didirikan pada tahun ini. Meski demikian, mantan karyawan di salah satu production house di Jakarta ini, yakin usahanya akan maju. Bermodalkan Rp1,3 juta yang dipinjam Dini dari kantong orangtuanya, dalam sehari dara manis ini sanggup membuat 40-70 pak sushi. Setiap harinya, Dini harus bangun jam 3 pagi untuk mulai membuat setiap pesanan sushi.

Sushi Rakyat menawarkan beberapa jenis varian menu yaitu Beef cheesy roll, Tempura Roll, Sausage BBQ Cheesy Roll, Kekian Sushi Roll (Olahan Ikan Kakap) dan Crab Stick Sushi Roll. Saat ini Dini sudah menambah 3 varian baru yaitu Hot Spicy Chicken Sushi Roll, Sweet Squid Sushi Roll dan Fish Roll With Tobiko.

Soal kendala, Dini mengaku dia harus terus belajar menciptkan menu-menu baru dalam sushi olahannya. ”Ini kendala terberat saya, apalagi saya awalnya tidak menyukai masak memasak. Tapi kini mau tidak mau ketika terjun ke bisnis ini, saya jadi senang memasak dan berkreasi menemukan varian baru,”tutur Dini yang berdomisili di Tangerang ini.

Ada pengalaman menarik selama Dini menjalani usaha Sushi Rakyatnya. ”Saya pernah dikasih tip Rp3.000 oleh salah satu pelanggan. Yang bikin saya sedih, uangnya dikasih dari balik pagar. Kok, sama sekali tidak menghargai saya,” ujar Dini mengenang. Ketika masih belum punya pegawai, Dini pun harus turun tanggan sendiri mengantarkan pesanan ke berbagai daerah di Jakarta. ”Ternyata gak gampang cari alamat di Jakarta itu, susah,” kata Dini kalem. Meski begitu Dini tidak patah arang. Ia berusaha sebaik mungkin meladeni setiap permintaan sushi yang ada.

Mengatasi persaingan, Dini tidak mau berpikiran muluk-muluk. Dia cukup yakin bahwa dengan jasa pesan antar dan dengan harga bersahabat, menjadi keunggulan dari bisnis yang tengah ditekuninya saat ini. Saat ini, dalam sebulan Dini berhasil mengantongi omset sebesar Rp13 juta.

”Mungkin omset saya belumlah dapat dibilang besar. Tapi saya belajar dari filosofi Cina. Biar untungnya sedikit, tapi yang penting bisa meraup pelanggan sebanyak-banyaknya,”ujarnya berfilosofi. Di tahun 2012 ini, Dini berharap dapat terus mengembangkan bisnis usahanya. Salah satunya adalah dengan menambah karyawan agar lebih efektif menjangkau seluruh wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok. ”Selama ini kami belum begitu maksimal dalam pengiriman ke daerah seperti Bekasi dan Depok,” ujar Dini.

Ke depan, Dini optimis prospek bisnis sushi yang dijalaninya akan cerah. Ia berharap agar semakin kreatif dalam berinovasi menjalani usaha Sushi Rakyat. Dan tentunya akan semakin banyak ”rakyat” yang berkerumun membeli sushi-sushi buatannya. $$$ PURWANTAMI (KONTRIBUTOR)

Sushi Rakyat
Komplek Pondok Bahar Permai
Jl. Pondok Bahar II Blok B.14,
Karang Tengah, Tangerang
Telp : 08561059783
PIN BB : 21AC0A48
Email : Sushirakyatku@gmail.com
Twitter : @ShushiRakyat
http://sushirakyat.blogspot.com

(As published on Majalah DUIT! ed 02/Februari 2012)

 
8 Comments

Posted by on June 15, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: , ,

Up2date: Busana Muslim Yang Mengikuti Mode Dunia

Menganut prinsip chic, comfort, dan covered up, Up2Date mengakomodir kebutuhan perempuan muslimah dalam berbusana. Selain merajai pasar Indonesia, produk mereka membanjiri negara-negara tetangga.

Menutup aurat, yakni seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, merupakan kewajiban bagi seorang Muslimah. Meski demikian, sebagai seorang perempuan, mereka tetap membutuhkan produk busana muslim yang mengikuti tren mode namun tetap sesuai kaidah agama.

Indonesia dikenal sebagai ‘surga’ busana muslim. Produsen busana muslim di negeri ini amat banyak. Namun, sayangnya, ada beberapa model yang terkesan monoton dan tidak ada spesifikasi yang jelas, terutama dalam kegunaan. Busana muslim yang dipakai untuk kehidupan sehari-hari, seperti bekerja, ke pesta, keseharian, berolahraga, berlibur nyaris sama dan tidak ada perbedaan. Inilah yang menjadi dasar pemikiran munculnya Up2date, salah satu produsen busana muslim ternama negeri ini.

Brand Up2Date sengaja dipilih karena si pemilik, Irna Mutiara, ingin menghasilkan busana sesuai kaidah agama tapi tetap harus mengikuti alias up to date terhadap tren mode. “Produk kami mengikuti perkembangan mode dunia. Kami pun mengacu pada pusat mode, Milan,” ujar Ronnie Agus H., Business Development and Marketing PT Trimoda Up2Date.

Menurut Ronnie, dalam membuat busana muslim Up2date menganut prinsip Chic, Comfort, and Covered up. Hal ini dimaksudkan agar siapapun yang memakai produk Up2date itu merasa ringan dan nyaman, walaupun dipakai aktivitas seharian. Selain itu, Up2Date membagi spesifikasi produk dan mode sesuai aktivitas. Misalnya, untuk baju kerja mereka membuat lini UpScale, lini Up&Go untuk baju olah raga, lini Upstairs untuk baju pesta, dan lini UpSize untuk ukuran besar. “Kami ingin konsumen memakai baju berbeda untuk setiap kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya,” tutur Ronnie, yang dianugerahi putra kembar ini.

Perusahaan yang berdiri pada 14 Juli 2006 ini bersikukuh untuk menjaga unsur eksklusivitas produk, meski bukan produsen busana edisi terbatas. Dalam upaya menjaga eksklusivitas itu, pihak Up2Date merilis 8-12 desain per minggu atau 32-40 desain perbulan, yang dikerjakan oleh tim perancang yang berjumlah delapan orang. Rata-rata produk Up2Date menggunakan konsep padu padan. Adapun range harganya antara Rp200.000 hingga Rp800.000 per pieces.

Produsen busana muslim ready to wear asal Bandung ini memiliki 25 gerai di seluruh Indonesia dan satu gerai di Kuala Lumpur, Malaysia, yang sudah berjalan dua tahun Up2Date berkembang cukup signifikan, pasalnya enam tahun lalu, mereka hanya memiliki satu gerai di ITC Kuningan, sebagai cikal bakal bisnis.

Berbeda dengan eksportir yang mengirimkan produk dalam kontainer, Up2Date mengakui ekspornya masih dalam jumlah terbatas. “Untuk pasar Malaysia kami mengirimkan 200 pieces secara rutin tiap bulan,” kata Ronnie. Di luar Malaysia, buyer yang membeli langsung juga cukup banyak. Biasanya, buyer didapat setelah Up2Date melakukan pameran, baik di dalam negeri maupun luar negeri, seperti di Uni Emirat Arab, Perancis, dan Australia. “Sempat ada permintaan ingin menjadi reseller produk kami di London, tapi kami masih belum siap,” aku Ronnie. Sementara ini pihaknya akan fokus ke pasar Asia Tenggara, tanpa melupakan pasar global.

Ronnie mengakui event pameran memberinya kesempatan bertemu buyer sekaligus melakukan riset pasar, misalnya soal budaya hingga selera konsumen lokal. Karena pada dasarnya, akan selalu ada perbedaan antara konsumen lokal dan luar negeri, mulai ukuran, warna, hingga model. Selain beda soal selera, faktor fisiologi (bentuk tubuh) juga berbeda. “Meski mengacu pada satu pusat mode yang sama, fashion selalu memiliki cita rasa lokal,” ungkap Ronnie, menjelaskan keunikan bisnis fashion. Itu sebabnya, tim riset harus pandai-pandai melihat selera dan karakter pasar lokal. “Konsumen Malaysia menyukai warna-warna terang dan glamor. Mereka tidak suka yang ruwet, maunya simpel,” imbuh dia, memberi contoh.

Oleh karena produk Up2Date banyak dipakai muslimah di seluruh dunia, tim riset juga akan mempelajari komunitas muslim di negara tujuan. Sebab, “Di sejumlah negara, muslim merupakan komunitas minoritas, bukan mayoritas seperti di Indonesia atau Malaysia,” jelas Ronnie. Jadi, tim riset bisa menyodorkan mode yang elegan dan sesuai dengan kebudayaan lokal.

Selama ini, Up2Date berkolaborasi dengan pemerintah ketika melakukan pameran di luar negeri. Ronnie menyebut Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan sering menggandeng perusahannya. “Dengan bantuan pemerintah, kami memiliki kesempatan bertemu buyer.”

Ke depannya, khusus tahun 2012 perusahaan dengan 130 pekerja ini akan berfokus pada diferensiasi produk, pelayanan customer, penyeragaman tipe produk yang dimaksudkan agar customer lebih nyaman. Untuk gerai , menurut Ronnie, untuk tahun 2012 tidak akan banyak membuka gerai atau konter baru. “Kami lebih menekankan diferensiasi produk dan pelayanan pelanggan,” ucap Ronnie. $$$ EKO SATRIO WIBOWO.

Up2Date
PT Trimoda uptodate
Jl. Delima Putih No. 5a
Larangan Utara, Ciledug
Tangerang
Telp/faks : 021 73444968
Customer Care : 022 70509956
http://www.uptodatetrimoda.com

(as published on Majalah DUIT! ed 01/Januari 2012)

 
Leave a comment

Posted by on June 12, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: , ,

Sifat Kebayian

Semakin bertambahnya usia, manusia menjadi semakin tua. Mereka akan kehilangan sifat kebayian. Sifat di mana hanya ada kepasrahan, berserah, serta nerimo diperlakukan apapun dan tak memiliki apapun. Hanya bisa menangis. Namun, Tuhan tak akan membiarkan bayi dengan ketidakberdayaannya menangis. DIA akan mengirimkan tangan-tangan lembut untuk menjaganya.

Kadang, kita harus menjadi bayi untuk dapat tetap semeleh.

 
Leave a comment

Posted by on June 7, 2012 in Random Thought

 

‘Long Nose Become a King’

Saking cintanya terhadap Bahasa Indonesia, di era 1990an, mantan Presiden Soeharto pernah memerintahkan penggunaan padanan Bahasa Indonesia untuk bahasa asing. Jadilah, waktu itu terjadi gerakan peng-indonesia-an berbagai merek dagang, papan reklame, nama toko, nama kawasan, hingga nama gedung di negeri ini. Ada padanan kata yang menarik, tapi ada juga yang terdengar konyol, ngawur, dan dipaksakan.

Jaringan ritel Indomart kemudian mengubah merek menjadi Indomaret, perumahan Green Garden berubah menjadi Taman Gren, Holland Bakery menjadi Holland Bakeri. Terdengar janggal. Kalau ada Indomaret berarti bakal ada Indodesember, kalau mau meng-Indonesia-kan Green Garden seharusnya Taman Hijau bukan Taman Gren (Gren = Hijau?), dan oh no, ini menakutkan sekali bakeri menggantikan bakery, seperti halnya laundri dan mal untuk menggantikan laundry dan mall.

Namun, saya senang menerjemahkan secara bebas sebuah bahasa, bahkan saking bebasnya hingga mencapai limit ngawur. Untuk urusan joke, tentu saja. Karena saya sengaja tak tak memperhatikan keabsahan grammar, terjemahkan saja kata per kata. Untuk lagu Adele yang berjudul “Set Fire to the Rain” saya pernah menerjemahkan menjadi “Buatlah Api Unggun di Saat Hujan”. Konyolnya banyak yang percaya terjemahan ini. Padahal arti sesungguhnya adalah burning the pain and getting rid of it.

Begitu pula ketika saya melihat ketidakbecusan seorang pemimpin, saya segera menciptakan idiom “Long nose become a King” yang berasal dari kalimat “Petruk dadi ratu”. Lakon carangan episode Mahabarata yang memperlihatkan seseorang yang tidak layak menjadi pemimpin mendadak mendapatkan tongkat komando.

Lalu ketika saya enek melihat kelakuan OKB, saya segera menerbitkan idiom “Poor man climbing wooden springbed” terjemahan super ngawur dari kalimat “kere munggah bale.” Tak usah repot-repot mencari artinya di kamus atau menerjemahkan via Google Translate, karena kedua kalimat itu memang hasil ilmu ngawurologi.

Dan ketika saya menyadari tengah mengetik blog ini di gadget bermerek BlackBerry, saya langsung tersenyum jahil. Baiklah saya mengetik di piranti Beri Hitam. Untung BlackBerry belum tenar di era pak Harto. Bila BlackBerry sering disingkat menjadi BB, maka setelah di-Indonesia-kan Beri Hitam akan disingkat menjadi.. BH! Bayangkan saja jika kita berada di sentra penjualan ponsel lalu menanyakan harga BH keluaran terbaru atau para perempuan bakal tersipu malu saat mengatakan “Wah, saya nggak pakai BH.”

 
Leave a comment

Posted by on June 6, 2012 in Bicara Bahasa

 

Tags: , , ,

Bloody Hell dan Asal Muasal Bahasa

Saya selalu penasaran mengenai asal muasal bahasa. Adanya bahasa membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Siapa yang menciptakannya? Mengapa bahasa bisa berbeda antara sekelompok manusia dengan kelompok yang lain? Apakah perbedaan ini demi sebuah kerahasiaan informasi yang dikuasai kelompok bersangkutan?

Asal muasal bahasa yang digunakan manusia adalah topik menarik karena tak ada petunjuk kapan bahasa mulai resmi ditemukan, terlalu banyak hipotesis yang beredar. Pada 1866, Linguistic Society of Paris sempat melarang debat mengenai subjek itu. Sementara Johanna Nichols, ahli bahasa dari University of California, Berkeley memperkirakan bahasa vokal sudah muncul sekitar 100.000 tahun lalu. Penemuan ini secara independen didukung oleh ahli genetika, arkeologi, dan paleontologi bahwa bukti bahasa muncul di suatu tempat di sub-Sahara, Afrika di jaman batu pertengahan, kira-kira sejaman dengan perkembangan spesies Homo Sapiens.

Dulu, saya tak mau ambil jurusan Bahasa di SMA. Ada beberapa alasan, mulai dari kesan anak IPA lebih pintar dari jurusan lain (aha!), tak punya bayangan mengambil jurusan lain karena keluarga besar berlatar belakang eksakta yang kuat (ambil jurusan non eksakta = minoritas), dan memang tak ada jurusan Bahasa di SMA saya (cuma ada enam siswa yang tertarik, tak memenuhi kuota jadi kelas ditiadakan).

Namun, selain mencintai Fisika, hati saya terpaku pada Bahasa, entah itu Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Dan, jadilah saya anak IPA dengan NEM mata pelajaran Bahasa Indonesia tertinggi di sekolah. Bukan sebuah prestasi yang membanggakan. Toh dari lahir jebret orang Indonesia udah bisa Bahasa Indonesia. Ini sesuai dengan teori Noam Chomsky, profesor linguistik dari MIT, yang berpendapat bahwa manusia lahir dengan Tata Bahasa Universal yang terkoneksi ke otak mereka. Ini menjelaskan bagaimana anak-anak mampu mengakuisisi bahasa yang didengarnya di awal periode dengan lebih baik.

Ketika ibu saya sedang mempersiapkan kemampuan bahasa asing, sebagai syarat mendapatkan beasiswa belajar di universitas ‘emaknya Obama’, ayah saya membelikan buku-buku dan sekotak kaset alat bantu belajar Bahasa Inggris. Waktu itu kursus bahasa asing masih terbatas, tak seperti saat ini. Di antara buku-buku itu, ada salah satu buku conversation delapan bahasa utama dunia. Dan, saya yang waktu itu masih umur 7 tahun menjadikannya sebagai bacaan favorit, selain novel Enyd Blyton. Pokoknya baca terus sampe kumel.

Sayangnya, saya tak memperdalam bahasa asing dengan sungguh-sungguh. Saya hanya bisa satu bahasa asing. Salut untuk kawan-kawan yang menguasai banyak bahasa asing. Sempat saya bisa bahasa, baca, dan tulis Korea saat kuliah (demi sang mantan yang wajahnya tak pernah tersentuh pisau bedah), tapi kemudian melupakan kemampuan sebagai bagian dari proses melupakan dirinya.

Sekarang menyesal setengah modar. Kalau saja masih bisa bahasa Korea, saya bisa menambah pundi-pundi kekayaan dengan menjadi penerjemah paruh waktu KDrama. Lagi banyak orderan, cyynn.. Begitu pula dengan bahasa Jerman yang separo-separo. Ah, sepertinya jika urusan pekerjaan “selesai” saya harus menghadiahi diri dengan mengikuti kursus bahasa asing, sampai tamat, nggak pake acara sok melupakan-melupakan segala demi alasan geje. Titik.

Saya sempat minder dengan aksen ‘ngindonesia’ ketika berbicara Bahasa Inggris, bahasa persatuan Bumi. Menurut saya aksen yang ‘benar’ ya seperti yang di film-film Hollywood itu. Tapi, saya selalu suka aksen British. Terdengar seksi. Kadang, kalau sedang sebal, saya suka mengumpat, “Bloody hell!” dengan aksen British totok, seperti yang sering dikatakan Ron Weasly, kawan Harry Potter (ingat, ucapkan Potter dengan penekanan di huruf “P”).

Hingga kemudian saya menyadari bahwa tiada gading yan tak retak. Meski sama-sama bule, kalau bukan warga negara Amerika atau Inggris, aksennya pasti terdengar ‘aneh’ di telinga. Perhatikan saja pasti ada suara sengau-sengau geje ketika bule Perancis ngomong English, bule Italia yang tanpa sadar menambah huruf “e” di tiap kata, atau bule Jerman yang selalu “ber-qolqolah kubro” di beberapa bagian kalimat. Itu masih aksen di seputar bule. Belum lagi ‘keanehan’ aksen bangsa-bangsa Asia atau Afrika, yang membuat saya sering harus berkata “Excuse me” atau “Please say it again” ketika mereka bicara. Well, ini soal kebiasaan mendengarkan aksen saja.

Rasa penasaran mengenai ribuan bahasa di dunia sempat berujung pada sebuah pertanyaan: Bagaimana Tuhan bisa mengetahui isi doa manusia yang menggunakan bahasa berbeda? Saya sendiri lebih suka berdoa dengan menggunakan Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia ketimbang merapalkan doa dengan Bahasa Arab yang saya kurang pahami bahasanya.

Saya sempat mengira Tuhan pasti punya malaikat-malaikat yang khusus bertugas sebagai penerjemah (diterjemahkan ke bahasa apa ya? English or Arabic?). Saya lalu menyadari bahwa DIA adalah pencipta segalanya, termasuk juga soal bahasa. Jadi, bahasa apapun yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan-Nya, tak harus satu bahasa tertentu, pasti akan didengarkan. Jika doa belum dikabulkan, itu bukan soal pilihan bahasa atau kalimat yang digunakan, melainkan karena DIA memiliki rencana lain yang lebih indah untuk kita. Percayalah, He understand our prayer even we can’t find the word to say them.

 
2 Comments

Posted by on June 6, 2012 in Bicara Bahasa

 

Tags: , , , ,

ayofoto.com: Tempat Kumpul Fotografer Berjiwa Entrepreneur

Bermula dari hobi membuat website dan fotografi, Dibya Pradana merintis ayofoto.com. Website sempat crash karena terlalu banyak member yang mem-posting foto. Ia lalu merejuvenasi bisnis menjadi photo stock yang memungkinkan member menjual dan membeli foto lewat web ini.

“Saya dulu paling sebal saat melihat anak buah mengunggah (meng-upload, Red) foto di jam kerja,” kenang Dibya Pradana membuka percakapan dengan Majalah DUIT! Kekesalan Dibya cukup beralasan. Sebab, menurut Dibya, yang waktu itu menjabat sebagai seorang manajer di perusahaan teknologi informasi (TI) ini, karyawan dibayar untuk bekerja, bukan menghabiskan bandwidth internet kantor untuk kesenangan pribadi.

Oleh karena penasaran dengan kegiatan para karyawannya, Dibya mengikuti acara hunting foto bersama. Di akhir pekan, mereka beramai-ramai menuju suatu kawasan untuk membidik objek dengan angle menarik. Ternyata, pria kelahiran Jayapura, 8 September 1975 ini ketagihan dengan ritual itu. “Sedari SMA saya senang fotografi. Bahkan ikut ekskul fotografi. Tapi, saya terbentur biaya. Waktu itu belum ada kamera digital sehingga harus bolak-balik beli film,” aku dia.

Kesenangan itu membuat Dibya tak bisa lagi sebal dengan anak buah yang fotografi. Tapi, ia membuat peraturan: kegiatan mengunggah foto hanya boleh dilakukan di luar jam kerja, agar tak mengganggu proses kerja perusahaan. Selain itu, Dibya membuat website khusus untuk menampung foto-foto hasil karya dia dan anak buahnya.

Pada September 2005, Dibya merintis website ayofoto.com dengan modal awal sekitar Rp125 juta. Dana sebesar itu digunakan untuk menyewa domain, membeli server sederhana, dan sebagainya. Waktu itu, tampilan fitur website amat sederhana, hanya ada kolom registrasi dan fasilitas pengunggahan foto. “Waktu itu tak terpikir soal bisnis. Saya hanya sekadar membuat media komuntas bagi fotografer untuk mem-posting foto,” ujar Dibya. Untuk server, Sarjana Teknik Sipil Universitas Trisakti, Jakarta ini hanya memanfaatkan komputer sebagai server.

Oleh karena bukan berasal dari kalangan fotografer profesional, ada beberapa pihak yang menyatakan Dibya terlalu berani merintis website untuk fotografer. “Saya pikir mengapa tidak? Saya bikin wadah khusus biar orang bisa share foto, ilmu, pengalaman, dan tambah teman,” kata dia.

Tepat setahun berdiri, website besutan Dibya mati total! Website crash karena over load. Dibya tak pernah menyangka ayofoto.com bakal memiliki 10.000 member dan 100.000an foto. “Saya merasa bertanggung jawab karena komunitas sudah terlanjur terbentuk,” tegasnya.

Mematok Harga Foto

Setelah berpikir dan berdiskusi dengan Dian Ratna Pertiwi, istri sekaligus mitra kerjanya, Dibya memutuskan untuk merejuvenasi ayofoto.com. Menurut dia, website dengan member lebih dari 10.000 tidak bisa lagi dikelola secara main-main, termasuk untuk urusan legal dan biaya maintenance.

Hal pertama yang ia benahi adalah infrastruktur. Agar website bisa berjalan lebih baik, Dibya harus meningkatkan kapasitas server. Ia mengaku pusing karena perusahaan tak punya dana cukup. Namun, keajaiban terjadi. “Percaya atau tidak, saya mendapatkan hadiah undian sebesar Rp10 juta!” seru Dibya. Dana itu kemudian digunakan untuk membeli server baru.

Kedua, ia mengubah sistem pendanaan website. Jika semula ayofoto.com yang bersifat komunitas mendapatkan dana dari iuran member, Dibya mulai mencari dana dari penjualan foto. Dibya melihat ada kesempatan bisnis saat melihat foto yang di-posting ternyata ada yang berminat membeli. Ternyata, ide itu banyak mendapat respon, baik positif maupun negatif. “Ada yang mempertanyakan sistem penjualan, hasil penjualan foto, tanggung jawab media setelah mempublikasikan foto, dan sebagainya,” kata dia. Selama satu tahun lebih, Dibya mencari model bisnis yang cocok.

Pada 2007, ayofoto.com mendapatkan tambahan modal dari bank sebesar Rp250 juta. Ia berniat menjadikan ayofoto.com menjadi e-commerce alias website jual beli foto online. “Website e-commerce untuk foto, yang merupakan hasil proses kreatif, tentu beda penanganan dengan barang. Menentukan harga sebuah foto tidak mudah,” keluh Dibya yang kini menjadi CEO PT Ayofoto Media International, payung hukum Ayofoto.com. Ia lalu merujuk pada website photo stock yang sudah ada, seperti Getty Image atau iStockphoto.

Untuk menghargai sebuah foto, website photo stock memiliki mekanisme tersendiri. Sebagai perbandingan, Getty Image menghargai foto berdasarkan reputasi fotografer. Fotografer yang sudah punya nama atau hasil fotonya pernah dipakai National Geographic, misalnya, akan menghasilkan foto lebih mahal ketimbang jepretan fotografer biasa. Sedangkan iStockphoto mematok harga berdasarkan aspek teknis, misalnya dari sisi resolusi dan ukuran foto. Makin besar foto dan resolusi makin tinggi, maka harganya lebih mahal.

Dan, ayofoto.com, yang menjadi Nominasi Perusahaan Berkembang Asia Pacific ICT Alliance (APICTA) Award 2009 ini, memilih menghargai foto berdasarkan aspek teknis, seperti yang dilakukan iStockphoto. Foto dengan resolusi paling tinggi dan size paling besar dihargai hingga Rp4 juta per foto, dengan ketentuan jual beli putus. Sedangkan ukuran terkecil (biasanya untuk wallpaper ponsel), dipatok mulai Rp5.000 per foto.

Pada 2008, ayofoto.com tidak hanya sebagai media komunitas, tapi juga agensi foto online. Di situs itu, para penggemar fotografi bisa melakukan transaksi foto jual beli foto hasil karyanya. Caranya, mereka yang tertarik menjual, membeli, atau menjadi agensi foto harus mendaftar sebagai member. Ada dua sistem membership, yakni tak berbayar dan berbayar. Tentu saja, member “gratisan” memiliki fasilitas tak selengkap member yang membayar Rp350.000 per tahun. Member berbayar bisa menjual, membeli, dan menjadi agen untuk foto-foto beresolusi tinggi (ukuran besar).

Semua Bisa Jadi Profesional

Bagi yang tak bisa memotret, website yang menjadi Juara I kategori Indonesia Social Media BUBU Award 2009 ini membuka kesempatan member untuk membeli atau menjadi agensi foto. Agensi foto berarti member memilih sejumlah foto untuk ditawarkan ke pihak lain. “Bila foto itu laku, si agen foto akan mendapatkan fee dari hasil penjualan,” ungkap Dibya.

Mereka yang ingin membeli foto, harus terlebih dahulu membeli vocer senilai Rp200.000 hingga Rp28 juta. Nantinya, jumlah kredit akan berkurang sebanyak harga foto. Konsepnya seperti vocer pulsa ponsel. Bila proses pembayaran selesai, member dapat dapat mengunduh foto yang dikehendaki.

Ketika website mengalami crash pada 2006, ayofoto.com sudah ada 300 pengunduhan per bulan. Setahun kemudian meningkat menjadi sekitar 1.500 pengunduhan per bulan. Kini, website yang menjadi Juara I kategori eBusiness for SME Indonesia ICT Award 2009 ini mampu menjual sekitar 5.000 foto per bulan. “Masih jauh dari target 9 foto per detik,” kata ayah tiga anak ini.

Saat ini, bisnis yang dirintis dari garasi rumah ini memiliki 40.000 member dan mampu mendatangkan omzet sekitar Rp100 juta per bulan. Nilai itu hanya dari penjualan foto, belum memperhitungkan pendapatan dari iklan dan berbagai layanan korporasi lainnya.

Lewat ayofoto.com, Dibya ingin mengubah paradigma fotografer profesional. Dulu, seorang fotografer profesional memiliki jam terbang tinggi dan berkesan angker. Kini, pegawai kantoran yang punya hobi motret pun bisa menjadi fotografer profesional, karena dia mampu menjual karyanya. Dibya mengungkapkan ada sejumlah member ayofoto.com, yang merupakan pegawai kantoran biasa, mendapatkan penghasilan jutaan rupiah dari website tersebut.

Menurut Dibya, di era foto digital seperti saat ini, semua orang yang hobi motret bisa menjadi fotografer profesional. “Saya ingin memberi wadah bagi fotografer untuk berkarya. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menjual foto, seperti halnya Darwis Triadi atau Arbain Rambey,” tegas Dibya. $$$ ARI WINDYANINGRUM

Ayofoto!
PT Ayofoto Media International
Gedung Graha Kencana lt.10/G
Jl. Raya Pejuangan No. 88
Jakarta
Telp : 021-53668160
Faks : 021-53679043
http://www.ayofoto.com

(As published on Majalah DUIT! ed 03/Maret 2011)

 
Leave a comment

Posted by on June 4, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: , , ,