Bermula dari hobi membuat website dan fotografi, Dibya Pradana merintis ayofoto.com. Website sempat crash karena terlalu banyak member yang mem-posting foto. Ia lalu merejuvenasi bisnis menjadi photo stock yang memungkinkan member menjual dan membeli foto lewat web ini.
“Saya dulu paling sebal saat melihat anak buah mengunggah (meng-upload, Red) foto di jam kerja,” kenang Dibya Pradana membuka percakapan dengan Majalah DUIT! Kekesalan Dibya cukup beralasan. Sebab, menurut Dibya, yang waktu itu menjabat sebagai seorang manajer di perusahaan teknologi informasi (TI) ini, karyawan dibayar untuk bekerja, bukan menghabiskan bandwidth internet kantor untuk kesenangan pribadi.
Oleh karena penasaran dengan kegiatan para karyawannya, Dibya mengikuti acara hunting foto bersama. Di akhir pekan, mereka beramai-ramai menuju suatu kawasan untuk membidik objek dengan angle menarik. Ternyata, pria kelahiran Jayapura, 8 September 1975 ini ketagihan dengan ritual itu. “Sedari SMA saya senang fotografi. Bahkan ikut ekskul fotografi. Tapi, saya terbentur biaya. Waktu itu belum ada kamera digital sehingga harus bolak-balik beli film,” aku dia.
Kesenangan itu membuat Dibya tak bisa lagi sebal dengan anak buah yang fotografi. Tapi, ia membuat peraturan: kegiatan mengunggah foto hanya boleh dilakukan di luar jam kerja, agar tak mengganggu proses kerja perusahaan. Selain itu, Dibya membuat website khusus untuk menampung foto-foto hasil karya dia dan anak buahnya.
Pada September 2005, Dibya merintis website ayofoto.com dengan modal awal sekitar Rp125 juta. Dana sebesar itu digunakan untuk menyewa domain, membeli server sederhana, dan sebagainya. Waktu itu, tampilan fitur website amat sederhana, hanya ada kolom registrasi dan fasilitas pengunggahan foto. “Waktu itu tak terpikir soal bisnis. Saya hanya sekadar membuat media komuntas bagi fotografer untuk mem-posting foto,” ujar Dibya. Untuk server, Sarjana Teknik Sipil Universitas Trisakti, Jakarta ini hanya memanfaatkan komputer sebagai server.
Oleh karena bukan berasal dari kalangan fotografer profesional, ada beberapa pihak yang menyatakan Dibya terlalu berani merintis website untuk fotografer. “Saya pikir mengapa tidak? Saya bikin wadah khusus biar orang bisa share foto, ilmu, pengalaman, dan tambah teman,” kata dia.
Tepat setahun berdiri, website besutan Dibya mati total! Website crash karena over load. Dibya tak pernah menyangka ayofoto.com bakal memiliki 10.000 member dan 100.000an foto. “Saya merasa bertanggung jawab karena komunitas sudah terlanjur terbentuk,” tegasnya.
Mematok Harga Foto
Setelah berpikir dan berdiskusi dengan Dian Ratna Pertiwi, istri sekaligus mitra kerjanya, Dibya memutuskan untuk merejuvenasi ayofoto.com. Menurut dia, website dengan member lebih dari 10.000 tidak bisa lagi dikelola secara main-main, termasuk untuk urusan legal dan biaya maintenance.
Hal pertama yang ia benahi adalah infrastruktur. Agar website bisa berjalan lebih baik, Dibya harus meningkatkan kapasitas server. Ia mengaku pusing karena perusahaan tak punya dana cukup. Namun, keajaiban terjadi. “Percaya atau tidak, saya mendapatkan hadiah undian sebesar Rp10 juta!” seru Dibya. Dana itu kemudian digunakan untuk membeli server baru.
Kedua, ia mengubah sistem pendanaan website. Jika semula ayofoto.com yang bersifat komunitas mendapatkan dana dari iuran member, Dibya mulai mencari dana dari penjualan foto. Dibya melihat ada kesempatan bisnis saat melihat foto yang di-posting ternyata ada yang berminat membeli. Ternyata, ide itu banyak mendapat respon, baik positif maupun negatif. “Ada yang mempertanyakan sistem penjualan, hasil penjualan foto, tanggung jawab media setelah mempublikasikan foto, dan sebagainya,” kata dia. Selama satu tahun lebih, Dibya mencari model bisnis yang cocok.
Pada 2007, ayofoto.com mendapatkan tambahan modal dari bank sebesar Rp250 juta. Ia berniat menjadikan ayofoto.com menjadi e-commerce alias website jual beli foto online. “Website e-commerce untuk foto, yang merupakan hasil proses kreatif, tentu beda penanganan dengan barang. Menentukan harga sebuah foto tidak mudah,” keluh Dibya yang kini menjadi CEO PT Ayofoto Media International, payung hukum Ayofoto.com. Ia lalu merujuk pada website photo stock yang sudah ada, seperti Getty Image atau iStockphoto.
Untuk menghargai sebuah foto, website photo stock memiliki mekanisme tersendiri. Sebagai perbandingan, Getty Image menghargai foto berdasarkan reputasi fotografer. Fotografer yang sudah punya nama atau hasil fotonya pernah dipakai National Geographic, misalnya, akan menghasilkan foto lebih mahal ketimbang jepretan fotografer biasa. Sedangkan iStockphoto mematok harga berdasarkan aspek teknis, misalnya dari sisi resolusi dan ukuran foto. Makin besar foto dan resolusi makin tinggi, maka harganya lebih mahal.
Dan, ayofoto.com, yang menjadi Nominasi Perusahaan Berkembang Asia Pacific ICT Alliance (APICTA) Award 2009 ini, memilih menghargai foto berdasarkan aspek teknis, seperti yang dilakukan iStockphoto. Foto dengan resolusi paling tinggi dan size paling besar dihargai hingga Rp4 juta per foto, dengan ketentuan jual beli putus. Sedangkan ukuran terkecil (biasanya untuk wallpaper ponsel), dipatok mulai Rp5.000 per foto.
Pada 2008, ayofoto.com tidak hanya sebagai media komunitas, tapi juga agensi foto online. Di situs itu, para penggemar fotografi bisa melakukan transaksi foto jual beli foto hasil karyanya. Caranya, mereka yang tertarik menjual, membeli, atau menjadi agensi foto harus mendaftar sebagai member. Ada dua sistem membership, yakni tak berbayar dan berbayar. Tentu saja, member “gratisan” memiliki fasilitas tak selengkap member yang membayar Rp350.000 per tahun. Member berbayar bisa menjual, membeli, dan menjadi agen untuk foto-foto beresolusi tinggi (ukuran besar).
Semua Bisa Jadi Profesional
Bagi yang tak bisa memotret, website yang menjadi Juara I kategori Indonesia Social Media BUBU Award 2009 ini membuka kesempatan member untuk membeli atau menjadi agensi foto. Agensi foto berarti member memilih sejumlah foto untuk ditawarkan ke pihak lain. “Bila foto itu laku, si agen foto akan mendapatkan fee dari hasil penjualan,” ungkap Dibya.
Mereka yang ingin membeli foto, harus terlebih dahulu membeli vocer senilai Rp200.000 hingga Rp28 juta. Nantinya, jumlah kredit akan berkurang sebanyak harga foto. Konsepnya seperti vocer pulsa ponsel. Bila proses pembayaran selesai, member dapat dapat mengunduh foto yang dikehendaki.
Ketika website mengalami crash pada 2006, ayofoto.com sudah ada 300 pengunduhan per bulan. Setahun kemudian meningkat menjadi sekitar 1.500 pengunduhan per bulan. Kini, website yang menjadi Juara I kategori eBusiness for SME Indonesia ICT Award 2009 ini mampu menjual sekitar 5.000 foto per bulan. “Masih jauh dari target 9 foto per detik,” kata ayah tiga anak ini.
Saat ini, bisnis yang dirintis dari garasi rumah ini memiliki 40.000 member dan mampu mendatangkan omzet sekitar Rp100 juta per bulan. Nilai itu hanya dari penjualan foto, belum memperhitungkan pendapatan dari iklan dan berbagai layanan korporasi lainnya.
Lewat ayofoto.com, Dibya ingin mengubah paradigma fotografer profesional. Dulu, seorang fotografer profesional memiliki jam terbang tinggi dan berkesan angker. Kini, pegawai kantoran yang punya hobi motret pun bisa menjadi fotografer profesional, karena dia mampu menjual karyanya. Dibya mengungkapkan ada sejumlah member ayofoto.com, yang merupakan pegawai kantoran biasa, mendapatkan penghasilan jutaan rupiah dari website tersebut.
Menurut Dibya, di era foto digital seperti saat ini, semua orang yang hobi motret bisa menjadi fotografer profesional. “Saya ingin memberi wadah bagi fotografer untuk berkarya. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menjual foto, seperti halnya Darwis Triadi atau Arbain Rambey,” tegas Dibya. $$$ ARI WINDYANINGRUM
Ayofoto!
PT Ayofoto Media International
Gedung Graha Kencana lt.10/G
Jl. Raya Pejuangan No. 88
Jakarta
Telp : 021-53668160
Faks : 021-53679043
http://www.ayofoto.com
(As published on Majalah DUIT! ed 03/Maret 2011)