RSS

Sekali Lagi, Wapres

22 Jan

Warung Apresiasi - BulunganTulisan ini bukan mengenai Wapres Budiono atau mantan Wapres (yang kemudian jadi Presiden) BJ Habibie yang baru saja merilis kisah cintanya dalam sebuah film. Melainkan soal Warung Apresiasi, yang sering disingkat Wapres.

Wapres adalah “warung” kecil yang tetap menjadi tempat nongkrong favorit musisi Tanah Air dengan segala aliran dan pengalaman yang dibawanya. Lokasinya pas nempel di Gelanggang Remaja Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Selain bisa ngopi dan pesen mie bihunnya yang ternama itu, kita bisa nonton suguhan musik hidup (padanan kata untuk live music, tapi kok kedengarannya aneh ya?). Band yang manggung wajib membawakan karya orisinal mereka. Kalau ketahuan membawakan karya orang lain bakal di-bully, diseret turun dari panggung, lalu dipancung. #lebay.

Sabtu malam itu, setelah sekian belas tahun tak nongkrong di sana, saya kembali menyambangi Wapres. Sejenak saya seperti diajak kembali ke masa lalu. Kangen. Senang rasanya bisa nonton penampilan musisi lokal, yang dijamin gak bakalan muncul di acara musik pagi. Kalau beruntung, kita bisa ikutan diskusi musik di Wapres, tapi tidak malam itu.

Karena saya datang terlalu malam, sekitar pukul 23.00, kami hanya kebagian tiga penampilan terakhir sebelum jam session. Band pertama yang saya nikmati isinya anak muda dari etnis Tionghoa. Tapi, sepupu saya bilang mereka ini anak-anak Kalimantan, suku Dayak. “Jangan liat sipitnya aja, liat tu struktur tulang wajahnya,” kata dia.

Ya ya, apapun rasnya, mereka bener-bener top abis ketika membawakan lagu aliran keras bin cadas ala Led Zeppelin. Begitu mereka kelar membawakan tiga lagu, tepuk tangan segera membahana. Ternyata, penampilan singkat mereka menyisakan suara kuping yang nging-nging. Mantab masbro!

Band kedua, Meneer, adalah band lokal yang berasal dari Kwitang, Jakarta Pusat. Anak-anak kampung yang hobi nge-band. Sayang, tak ada yang bisa dibanggakan dari mereka. Saya kurang bisa menikmati karya mereka. Kualitas musiknya parah, terutama si drummer yang sering kali kedodoran. Belum lagi lirik yang bikin geleng-geleng kepala, aneh. Tapi, tak apalah. Hidup di kawasan Senen itu keras. Masih untung mereka menyalurkan pede setinggi langit di musik. Kalau mereka milih jadi preman terminal yang hobinya mengusik, mau apa?

Band ketiga, memperkenalkan diri dengan nama Watermelon, adalah versi kebalikan dari Meneer. Dari penampilan personel dan alat-alat yang dibawa mudah ditebak kalau mereka ini anak-anak gedongan. Selain mengusung double pedal untuk drum, mereka juga membawa laptop dengan logo apel krowak untuk equalizer. Kemampuan individu dalam bermusik pun di atas rata-rata. Usut punya usut, mereka sudah mengeluarkan mini album. Setelah mereka selesai manggung, beberapa orang (entah dari studio rekaman indie atau manajer kafe) berebut meminta CD demo mereka.

Setelah Watermelon manggung, sang pembawa acara menyatakan warung resmi ditutup. Tapi, ia mempersilakan musisi untuk jam session. Nah, ini sebenarnya yang saya tunggu-tunggu. Saya selalu suka jam session. Empat musisi senior – terlihat keriput di wajah. Halah! – segera mengambil alih panggung.

Memang, jam terbang tak bisa ditipu. Meski gayanya bawainnya asal-asalan, musik yang keluar nadanya indaaaahh bener. Apalagi saat si vokalis membawakan lagu Don’t Sleep Away The Night-nya Daniel Sahuleka. Beuhhh.. Bikin bulu kuduk merinding, seakan-akan om Daniel yang lagi konser di Bulungan. Sayang saya bukan (lagi) wartawan musik. Jadi susah bener menemukan kata yang pas untuk mendeskripsikan musik yang saya dengar tengah malam itu. #ngeles.

Bila sebelumnya mendengar tiga lagu dalam 15 menit sudah pengen nyuruh band-nya turun dari panggung, maka tengah malam itu, di saat jam session, tiga lagu dalam 45 menit rasanya masih kurang. Lagi.. lagi.. lagi.. Sayang, jam 01.00 pagelaran musik itu harus berakhir.

Puas rasanya bisa kembali nongkrong menikmati live music. Tak harus di kafe mewah. Justru di Wapres saya merasa lebih menikmati hidup. This is music. Ada band-band lokal dengan kemampuan di bawah rata-rata, pas di garis rata-rata, atau bila beruntung bisa menikmati band dengan kualitas musik di atas rata-rata. Apapun itu, kita harus memberikan apresiasi.

Musik di Indonesia, seperti industri lainnya, dikuasai oleh segelintir orang saja. Itu sebabnya tren musik amat bergantung pada apa yang ditawarkan major label. Sekarang lagi demam lagu menye-menye dan jejingkrakan ala KPop. Sungguh patut disayangkan, hampir semua musisi saat ini main di genre musik yang sama. Sehingga tingkat kebosanan bakal lebih cepat menjerat masyarakat. Padhal, untuk bisa menang di industri musik harus bisa mencuri perhatian masyarakat, entah itu dengan kualitas atau diferensiasi karakter yang ditawarkan musisi tersebut.

Ketika ABG jaman sekarang demam dengan musik ala KPop, saya masih bingung: enaknya di mana to? Kalau mau dilihat aksi jejingkrakannya, jelas beda jauh sama musisi KPop asli macam Suju. Apa pula itu band yang punya nama pukulan ala pertandingan bola voli. Apa pula itu band dengan nama buah yang personelnya lebih dari setengah lusin ABG perempuan.

Mau mengapresiasi mereka, yaaaa.. boleh lah, atas nama tren masa kini dan rasa percaya diri para personelnya. Tapi kalo soal kualitas vokal, lirik, dan musik, rasanya jauh banget dari vokalis (entah solo, duo, atau trio) dan band-band jadul – setidaknya musisi yang saya kenal saat muda.

Sungguh, saya ingin kembali bisa menyaksikan live performance KLa Project, Slank, Iwan Fals, atau Dewa 19. Catet, Dewa 19 yaa.. masih ada angka 19-nya, berarti masih ada Ari Lasso dan drummer ganteng macam Wong Aksan atau Tyo Nugros di dalamnya. Si Dhani Ahmad suruh diem aja tu di belakang, maen keyboard kayak dulu lagi. Gak usah kebanyakan gaya ikutan nyanyi segala…

“One good thing about music, when it hits you, you feel no pain.” (Bob Marley)

 
Leave a comment

Posted by on January 22, 2013 in Random Thought

 

Tags: , ,

Leave a comment