Malam itu kereta masih juga penuh. Padahal saya sudah bisa melihat penampakan purnama dengan jelas di atas sana. Dengan posisi saling memunggungi, saya dan sahabat terus melanjutkan diskusi mengenai kehidupan. Rasanya, obrolan panjang lebar di kedai bakmi dekat stasiun tak cukup memuaskan dahaga berkisah.
“When a woman isn’t beautiful, people always say ‘you have lovely eyes,’ or ‘you have lovely hair’,” kata sahabat, mengutip novel karangan Anton Chekhov. Perempuan itu makhluk unik. Kalau dipuji cantik padahal dia tidak cantik, si perempuan langsung menuduh pemujinya tengah membual (meski hatinya deg-deg-ser kegirangan). Tapi kalau memang wajah aslinya tidak cantik dan dibilang tidak cantik (tanpa basa-basi pula), seorang perempuan bakal menuduh ‘pemujinya’ tak berperasaan. “People is trying to find the best part of her,” kata saya. “Akui saja, Chekhov tak mengajari cara menggombal dalam novelnya.”
Kami berdua – yang memang tak secantik Julia Robert, seseksi J.Lo, atau semenarik Kajol ini – langsung terkekeh, tak peduli di kiri-kanan kepala kami adalah ketiak mbak-mbak kantoran yang untungnya masih wangi. “Aku bisa jamin, meski wajah kita tak cantik, tapi hati kita cantik,” ucap sahabat saya. Sayang, derai tawa tak bertahan lama. Kami harus segera mengubah posisi setelah ada serbuan penumpang masuk di stasiun Cawang. Kereta semakin sesak. Well, life is a tragedy for those who feel, but comedy to those who think.
PS: I dedicate this article for my lovely best friend who graduate from MIT fellowship program, today. Graduation is only a concept. In real life, every day you graduate. Graduation is a process that goes on until the last day of your life. If you can grasp that, you’ll make a difference. Aku jamin, selain hatimu cantik, otakmu juga cantik, mbak. Congrat!
naningisme 