RSS

Tag Archives: pengelolaan limbah

Ecopreneur: Dari Sampah Terbitlah Rupiah

Timbunan sampah bisa menjadi barang yang amat berharga bila ada ecopreneur yang jeli memanfaatkan peluang. Berbekal kreativitas, sampah yang terbuang bisa menjadi produk baru bernilai ratusan juta rupiah.

Tahukah Anda, berapa volume sampah yang dihasilkan warga Ibu Kota per hari? Menurut catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, tiap orang di kota ini menghasilkan sampah rata-rata 800 gram per hari. Mulai dari wadah styrofoam dan kantong plastik yang sulit terurai hingga kertas bekas dan sisa-sisa kulit kacang yang bisa terurai.

Dengan penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari warga Jakarta menghasilkan 6.000 ton sampah (1 ton setara dengan berat 6.000 gajah). Kalau seluruh sampah tadi ditumpuk di Taman Monumen Nasional (Monas) yang luasnya 110 hektar, niscaya dalam 40 hari taman itu bakal tertimbun sampah setinggi satu meter. Dan, kalau dibiarkan menumpuk selama satu tahun, warga Jakarta bisa membangun 185 candi Borobudur yang berisi sampah. Wow!

Sayangnya, sampah-sampah tadi hanya dibuang begitu saja ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Kalau tak memperhitungkan daya tampung, bukan tidak mungkin, bencana sampah longsor bakal terjadi lagi. Padahal, kalau saja sampah itu dikelola dengan prinsip reuse, reduce, recycle, Bumi tak hanya sekadar lebih terawat. Tapi, bagi pihak yang mampu mengelolanya dengan baik, akan mendapatkan omzet hingga ratusan juta rupiah, bahkan lebih.

Tak percaya? Simak pengalaman Hidayat, pelopor konsep waste management di Indonesia. Ecopreneur (entrepreneur yang bergerak di bidang lingkungan hidup) dari Jatimurni, Pondok Gede, Bekasi ini menawarkan konsep waste management untuk pemukiman dan pasar tradisional. Bila diterjemahkan secara bebas, waste management artinya pengelolaan sampah. Di negeri ini, Hidayat telah merintis bisnis itu sejak 1993.

Semula, Hidayat, melalui PT Mitratani Mandiri Perdana (Mittran) memproduksi mesin pengolah sampah, seperti mesin pencacah plastik dan pengepres sampah. Sayangnya, mesin-mesin itu tidak banyak peminatnya. Oleh karena sudah terlanjur mempekerjakan banyak karyawan, dia harus memikirkan masa depan bisnisnya. Hingga suatu hari, ia memiliki ide untuk memberdayakan mesin-mesin buatan pabriknya. “Daripada mangkrak di gudang, saya memperluas cakupan bisnis Mittran dengan menawarkan jasa pengelolaan sampah,” ungkap Hidayat.

Sebagai pilot project, ia menawarkan jasa ke lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Jatimurni. Ia meminta izin dari ketua RT/RW. Sayang, niat baiknya tak disambut warga. “Padahal, waktu itu saya tawarkan gratis,” keluh Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia ini. Tapi, entrepreneur sejati pantang menyerah. Berbekal izin dari ketua RT/RW setempat, karyawan Mittran memasang tong sampah di pinggir jalan kampung Jatimurni, yang mayoritas dihuni masyarakat kelas sosial menengah-bawah.

Saban pagi, karyawan Mittran mengambil sampah dari rumah ke rumah tanpa menarik retribusi satu sen pun dari warga. Berselang satu bulan, di depan rapat warga, Hidayat menawarkan opsi: masyarakat meneruskan memakai jasa Mittran untuk membersihkan lingkungan atau tidak. Ternyata, “Setelah mencoba layanan kami secara gratis, warga mufakat terus memakai jasa kami,” seloroh suami Kusmayawati ini. Sebagai entrepreneur, ia menuturkan bahwa layanan pengelolaan sampah ini tidak gratis. Nyatanya, warga setuju membayar retribusi Rp30.000 per bulan per tong.

Meski sudah membayar, Hidayat memberi peraturan tegas bagi warga. Karyawan Mittran hanya mengambil sampah yang dimasukkan dalam tong. Kalau sampah tercecer (karena tong kelebihan muatan), tim pengambil sampah akan membiarkan sampah-sampah itu. Menurut Hidayat hal ini untuk melatih kedisiplinan warga dalam menghitung sampah yang mereka hasilkan. Hanya sampah yang tak bisa diolah yang bisa memenuhi tempat sampah. Sebab, Mittran menawarkan program barter untuk barang yang bisa didaur ulang, misalnya buku telepon, koran bekas, atau botol beling (kaca). Tiap kilogram, perusahaan akan memberi nilai Rp500 yang bisa ditukarkan dengan mi instan, telur, atau susu. “Program barter ini merangsang masyarakat untuk memilah sampah yang akan mereka buang,” kata dia.

Setelah mengambil sampah dari tiap rumah, sampah kemudian ditampung ke lokasi penampungan sementara. Di tempat itu, sampah mulai diolah. Seluruh sampah yang diangkut mobil pick up dimasukkan ke mesin sortasi. Nantinya, tim Mittran mendapatkan bakal dua jenis sampah, yakni organik dan anorganik. Sampah organik akan diolah dan dijual dalam bentuk kompos. Adapun sampah anorganik, tim Mittran akan melakukan proses lebih panjang. Sampah plastik yang masih bagus akan dijual ke pihak lain untuk didaur ulang. Sedangkan sampah anorganik yang tak bisa dimanfaatkan lagi akan dipadatkan untuk dijadikan biomassa.

Nah, sampah biomassa ini harganya jauh lebih mahal ketimbang kompos atau bahan baku produk daur ulang. Sebab, biomassa adalah bahan bakar alternatif. Perusahaan yang mengeluarkan kadar karbondioksida (CO2) dalam jumlah besar dari cerobong asapnya, seperti pabrik semen atau pabrik gula, kini mulai mencari biomassa. “Mereka memilih biomassa karena BBM industri makin mahal. Selain itu, mereka ingin mendapatkan kredit karbon karena menggunakan energi alternatif,” jelas Hidayat.

Berhasil di kampungnya, bisnis Hidayat terus melebar. Kini ia mengelola sampah untuk beberapa komplek perumahan dan pasar tradisional. Konsep pengelolaan sampah ala Hidayat terus diduplikasi. Sebab, di bawah naungan Yayasan Rumah Perubahan, Mittran mengadakan program penciptaan 1.000 entrepreneur sampah. “Kalau dikelola dengan benar, sampah bisa menjadi amat berharga,” tutur Hidayat. Sebagai gambaran, omzet bisnis sampah ini mencapai sekitar Rp225 juta per bulan. Ini belum termasuk penjualan mesin pengolah sampah, biaya pelatihan, dan fee dari perusahaan pemakai jasa.

Lantas, tak salah jika Valerina Daniel, Runner Up Putri Indonesia 2005 menyatakan jika bisnis yang berkaitan dengan isu-isu ramah lingkungan amat menjanjikan. “Bisnis berbasis ecopreneur tidak hanya menjanjikan dari sisi bisnis, tapi juga memberi kepuasan karena kita bisa mempertanggungjawabkan moral terhadap ekosistem alam yang makin terancam,” urai Duta Kementrian Lingkungan Hidup ini. Menurut dia, makin banyak entrepreneur yang melirik bisnis berbasis pada isu ramah lingkungan. Seperti pusat-pusat daur ulang sampah yang kini tersebar di seluruh Nusantara.

Membatik di Filter Oli Bekas

Setiap 22 April, seluruh warga dunia memperingati Hari Bumi. Perayaan ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap planet yang kita ditinggali bersama: Bumi. Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang tidak sadar kalau ulahnya bisa makin merusak lingkungan. Misalnya saja menggunakan tas kresek baru setiap kali berbelanja di minimarket langganan, minum dari gelas atau piring sekali pakai (yang biasanya terbuat dari styrofoam), atau membeli sabun pencuci piring dengan kemasan isi ulang kecil. Terlihat sepele. Tapi, ternyata, tiga aktivitas itu menciptakan lebih banyak sampah.

“Sampah merupakan masalah serius. Tapi, selalu dihindari orang,” keluh Freddy Rangkuti, pakar strategi bisnis dan marketing dari MD Frai Marketing. Menurut Freddy dari lingkungan terkecil, yakni rumah tangga, hingga lingkungan korporat, selalu menghasilkan sampah. Tapi, tidak banyak yang mau menggali potensi bisnis dari sampah. “Masyarakat menggantungkan masalah sampah pada pemerintah,” imbuh dia.

Freddy mengamini pernyataan Hidayat bahwa sampah bisa menjadi barang yang amat berharga. Asalkan mengerti cara memanfaatkan peluang itu. Dosen program doktor manajemen Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) ini menyoroti ada dua potensi pendapatan yang bisa diambil dari sampah, yakni retribusi dan penjualan produk daur ulang.

Sementara itu, menurut Yoris Sebastian, Chief Creative Officer OMG Creative Consulting para entrepreneur yang bergelut di bidang pengelolaan sampah (ecopreneur) merupakan orang-orang kreatif. “Mereka mampu menciptakan produk olahan yang berbeda dengan produk kebanyakan. Butuh kreativitas tinggi untuk menyulap benda tak terpakai menjadi karya yang unik dan mahal,” kata Yoris, di sela-sela seminar Green Living Tupperware.

Simak bagaimana G.S Ade Asmara dan Nova M. Napitupulu memanfaatkan filter oli bekas dan limbah besi untuk dijadikan lampu hias (art lighting) dan aneka pajangan cantik. Di tangan Ade, lempengan besi dan filter oli bekas dibatik. Bedanya, bila membatik di atas kain, Anda menggunakan canting. Membatik di atas lempengan besi harus menggunakan las. “Butuh waktu tiga sampai lima jam untuk membatik,” ujar Ade. Tapi, sebelum memulai proses membatik, besi-besi bekas itu harus direndam ke dalam larutan cairan kimia semalaman untuk menghilangkan karat.

Selama ini, Skala 6 menggunakan motif batik Jawa, Betawi, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Papua untuk mempercantik lampu hias karya mereka. Maka, tak heran jika banyak warga asing tertarik membeli produk besutan Ade. Apalagi, Ade memiliki galeri di Bali. Produk buatan Skala 6 dibanderol antara Rp35.000 hingga Rp525.000 per buah. Menurut Ade saat ini dirinya telah mengekspor produk ke Jerman, Perancis, Uni Emirat Arab, dan Thailand. “Proses produknya rumit, tapi terbayar dengan hasilnya yang cantik,” ucap pria kelahiran 6 Oktober 1974 ini. Agar kualitas selalu terjaga, Ade memilih untuk memproduksi barang secara terbatas.

Gaun Pengantin dari Kresek

Tapi, apalah artinya kreativitas bila pasokan baku terhambat. Itu sebabnya, Ade menjalin kerjasama dengan PT Astra International Tbk. untuk mendapatkan pasokan filter oli bekas dalam jumlah banyak dan kontinyu.

Sedangkan Slamet Riyadi, lewat CV Lumintu yang menyulap tube pasta gigi menjadi tas cantik, mendapatkan pasokan dari PT Delident Chemical Industri, produsen pasta gigi Delident yang berbasis di kawasan Daan Mogot, Tangerang. Setiap tiga bulan sekali, Slamet mendapatkan 1,5 ton tube reject dari perusahaan itu. Kata Slamet, ini merupakan salah satu program CSR Delident. Adapun pasta gigi Delident sendiri banyak diekspor ke Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa Timur.

Sementara itu, Heryanti Simarmata mendapatkan pasokan bungkus plastik bekas karena ia berada di kawasan yang memiliki sentra Green and Clean dan Bank Sampah. “Warga menyetor sampah rumah tangga di Bank Sampah. Setelah melewati priode tertentu, warga bisa menarik tabungan dalam bentuk dana tunai,” kata Yanti, menjelaskan konsep Bank Sampah. Nah, dari “setoran” sampah itu, setelah melewati proses sortasi, Yanti mendapatkan pasokan bungkus-bungkus plastik bekas dalam jumlah cukup banyak.

Selanjutnya, Yanti akan memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang berdomisili di Pasar Minggu, Jakarta Selatan untuk mencuci bersih, menjahit bungkus plastik menjadi satu lembaran besar, membuat desain dan pola, sampai menjahitnya menjadi produk-produk cantik. Di antaranya dompet, payung, tas, atau sepatu cantik. “Ibu-ibu mendapatkan bayaran berdasarkan tiap item yang mereka buat,” jelas Yanti. Hanya saja, karena sudah banyak entrepreneur yang menggarap bisnis serupa, omzet Yanti sempat turun. Dari sebelumnya mencapai Rp10 jutaan per bulan, kini berada di kisaran Rp6 jutaan per bulan.

Tak bisa dimungkiri, untuk memasarkan produk daur ulang, ecopreneur harus ekstra kreatif. Bila Slamet dan Yanti sering mendapatkan pesanan dalam jumlah besar dari korporat, maka P. Fabiawan memilih untuk memasarkan produk Gerai Green via online. Akan tetapi, tak ada yang menyaingi strategi pemasaran “out of the box” ala Erni Suhaina Ilham Fadzry saat memperkenalkan produk daur ulang besutan lembaga kursus milik suaminya, LKP Bu Nandang.

Selama ini, lembaga kursus dan pelatihan milik Nandang Sukmana, suami Erni, memanfaatkan limbah non bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk dijadikan kerajinan. Sejak beberapa tahun silam, mereka memproduksi dan memasarkan produk daur ulang ke toko-toko sovenir atau berharap rezeki saat pameran. Namun, Erni menginginkan lebih. Agar produk LKP Bu Nandang yang dikelolanya lebih dikenal, Erni menggagas pesta pernikahan salah satu anggotanya dengan tema Limbah Non B3.

Semua yang berkaitan dengan hajatan itu, seperti undangan, dekorasi, sovenir, hingga gaun pengantin terbuat dari daur ulang sampah. Untuk gaun pengantin, Erni membuatnya dari tas kresek yang digulung kecil dan dijahit pada kain pola (dasaran) yang terbuat dari kain spanduk bekas. Dari kejauhan, gulungan plastik itu mirip kuntum mawar. Sedangkan untuk tiara yang dipasangkan di rambut pengantin, Erni membuatnya dari kabel.

Dan, seperti perkiraannya, banyak tamu yang tertarik membeli gaun pengantin itu. Apalagi pernikahan dengan tema Limbah Non B3 diliput oleh banyak media cetak dan televisi. Perempuan yang tengah melanjutkan S1 jurusan Bahasa Inggris di Universitas Widhya Dharma, Klaten ini lalu memberikan kartu nama dan brosur lembaga pendidikan miliknya. “Sekarang LKP Bu Nandang kebanjiran order pembuatan undangan, sovenir, dan pakaian dari limbah plastik,” kata Erni, bahagia. Tak cuma itu, Erni kini memiliki bisnis event organizer (EO) setelah hajatan pernikahan dengan tema Limbah Non B3 mendapatkan banyak respon positif dari masyarakat.

Lebih lanjut Yoris mengatakan bahwa selama isu lingkungan hidup dan kampanye gaya hidup ramah lingkungan masih ada, maka prospek bisnis ecopreneur masih menjanjikan. “Sekarang, tinggal pintar-pintarnya si entrepreneur mendapatkan pasokan bahan baku dan memasarkan produk,” tegas Yoris. Jadi, siapkah Anda menjadi miliarder dari sampah? $ ARI WINDYANINGRUM, AGUSTAMAN, JOHANA NOVIANTI H., ALDY FAUZAL, RAHMA UTAMI

Tips Sukses Mengais Rupiah dari Sampah

  1. Amati sampah yang ada di sekitar, pilih beberapa bahan menjadi bahan baku.
  2. Pastikan Anda memanfaatkan limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
  3. Bereksperimen dengan sampah/limbah yang akan dipakai sebagai bahan baku. Ciptakan produk se-kreatif mungkin.
  4. Pastikan Anda mendapat pasokan bahan baku (sampah/limbah) secara kontinyu.
  5. Berdayakan masyarakat sekitar untuk mengolah sampah/limbah menjadi produk kreatif.
  6. Jalin kerjasama dengan banyak pihak, terutama perusahaan besar untuk mendapatkan pasokan bahan baku atau bahkan pemasaran produk.
  7. Pilih saluran pemasaran yang pas untuk produk daur ulang Anda, misalnya lewat pameran, toko sovenir, bekerja sama dengan toko-toko besar, atau penjualan online.
  8. Jangan berhenti bekreasi, temukan desain-desain baru agar berbeda dengan kompetitor.

Peluang Bisnis dari Sampah

  1. Mengelola sampah kawasan dan mengubahnya menjadi biomassa
  2. Mendaur ulang bungkus plastik menjadi produk fashion (tas, dompet, payung, dsb)
  3. Mendaur ulang tube pasta gigi menjadi tas, sajadah, dsb
  4. Mendaur ulang tas kresek bekas menjadi gaun pengantin
  5. Mendaur ulang botol kaca menjadi pajangan
  6. Mendaur ulang filter oli bekas menjadi lampu pajangan (art lighting)
  7. Mendaur ulang kayu bekas menjadi furnitur
  8. Mendaur ulang minyak bekas (jlantah) menjadi sabun, e-fuel (minyak pengganti lilin), dan lotion anti nyamuk
  9. Mendaur ulang ban mobil bekas menjadi sandal
  10. Mendaur ulang limbah cair tapioka menjadi nata de cassava

Lama Hancur Terurai

Kantong plastik 10 – 12 tahun
Gelas sekali pakai > 20 tahun
Styrofoam > 500 tahun

Kapasitas Produksi Sampah Orang Indonesia

1 Orang 0,8 kg per hari
Seluruh Warga Jakarta 6.000 ton per hari
Seluruh Warga Indonesia 176.000 ton per hari

(As published on Majalah DUIT! ed 04/April 2011)

 
3 Comments

Posted by on May 29, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: , , , , , , , , , , , , ,