RSS

The Winning Underdog

24 Sep

Topdog_Underdog_review_1Sepekan ini semua jenis media begitu ramai dengan fenomena IPO Alibaba yang memecahkan rekor dunia sebagai IPO terbesar sepanjang sejarah. Dunia maya pun diisi oleh cerita tentang Alibaba dan Jack Ma, sang founder, dan bagaimana perusahaan raksasa internet Cina ini bisa mengguncangkan dunia.

Mengapa peristiwa Alibaba ini begitu ramai dan dielu-elukan? Padahal sejak dulu Alibaba hanyalah ti putih melati, dan merah delima adalah Pinokio. Mengapakah? Padahal rekor IPO sebelumnya yang dipecahkan oleh raksasa kartu kredit Visa di tahun 2006, atau Agricultural Bank of China di tahun 2010, nggak gitu-gitu amat. Dan saya pun yakin, kalau Alibaba ini adalah perusahaannya Li Ka-Shing atau cucunya Rockefeller, respon masyarakat tidak akan sebegitu ramai.

Ya, ini ramai karena Alibaba didirikan oleh Jack Ma, seorang mantan guru bahasa Inggris yang baru memulai membangun perusahan eCommerce di usia 35 tahun, yang gajinya dulu hanya $20 per bulan, yang lamaran kerjanya sempat ditolak oleh KFC, dan kini menjadi orang terkaya nomor satu di Cina dengan nilai perusahaan melebihi $ 166 Billion. Ini ramai karena Jack Ma adalah seorang underdog yang lalu menang. And everybody loves a winning underdog story.

Nah, sejak dulu, cerita tentang winning underdog selalu menarik, baik fakta maupun fiksi; mulai dari David vs Goliath, Cinderella, Rocky, Steve Jobs, CT Si Anak Singkong, Jack Ma, dan banyak lainnya. Tapi, pernahkah anda bertanya: mengapa ini menarik? Karena dramatis, mengejutkan, dan menginspirasi, ya, memang. Twist, drama, dan inspirasi jadi alasan logis kenapa cerita ini menarik hati.

Tapi, menurut saya, ada alasan yang lebih mendasar. Cerita winning underdog menjadi menarik bagi banyak orang karena di lubuk hati yang terdalam, kita semua merasa bahwa kita adalah underdog. Dalam kasus Jack Ma, kisah ini menginspirasi karena kita dan dia memiliki kesamaan: sama-sama underdog, entah karena kita terlambat memulai, bukan dari keluarga kaya, sempat mengalami jalur karir yang dibawah kelayakan, atau tidak memiliki kompetensi sempurna di bidang yang kita geluti.

Kisah ini memberikan rasionalisasi dalam optimisme kita, bahwa jika Jack Ma saja bisa, berarti kita juga bisa. Dan lebih dari itu, kisah seperti ini memberikan sentuhan emosi dalam optimisme kita; bahwa dalam kegagalan dan kekurangan yang sempat menyiksa hati, ternyata ada bukti yang menggariskan bahwa di akhir nanti, hasilnya bisa indah tak terperi. Kisah seperti ini memotivasi dan membawa emosi.

Tapi motivasi semacam ini adalah kulit terluar, remeh, layaknya remah gehu pedas yang tersisa di bungkus bekas lembar jawaban dan terbuang di pinggir jalan, lalu tertiup angin hembusan dan tercebur ke comberan: temeh. Mari benturkan ke realita: ada berapa juta orang yang jadi guru bahasa Inggris, dibayar lebih rendah dari $20, dan lamaran kerjanya sempat ditolak? Banyak sekali. Tapi, ada berapa orang yang menorehkan kesuksesan seperti Jack Ma? Hanya satu. What makes him the winning underdog? Untuk mengetahuinya, kita perlu memaknainya melebihi motivasi, hingga beberapa level.

Jack-Ma-ForbesLevel satu, visionary underdog. Menjadi underdog yang menang harus memiliki visi yang besar? Ya, pasti. Tapi, pastikan juga kalau visinya benar. Begini maksudnya: saat mendengar kisah sukses Jack Ma, apa yang membuat Anda iri? Kekayaan hingga $21 billion? Menjadi cover di Forbes? Diwawancara di CNBC? Jadi terkaya nomer wahid? Jika itu yang menggerakkan kita, maka lupakanlah; karena kita sudah kalah. Sejarah selalu mencatat, para winning underdog itu tidak pernah mengejar kekayaan dan ketenaran.

Dalam sebuah pidato di Stanford, Jack Ma pernah menyampaikan, “Sisakan saya 0,001 dari kekayaan saya saat ini, maka itu masih terlalu banyak untuk seorang Jack Ma”. Karena, jika ditelusuri sejak awal, visinya tidak pernah mengarah ke kepemilikan harta. Ia hanya ingin membuat satu eCommerce yang mampu membantu banyak UMKM di Cina, agar bisa bersaing secara global. Visi ini terus Ia dengungkan hingga kini, di surat terbuka pengunduran dirinya sebagai CEO, atau surat anjuran beberapa hari sebelum IPO. The winning underdog selalu berorientasi pada karya yang bisa memberikan dampak luas.

Level dua, un-underdog underdog. The winning underdog, tidak pernah merasa menjadi underdog, walaupun realita menunjukkan demikian. Coba saksikan “Crocodile from the Yangtze”, dan dengarkan apa yang Jack Ma sampaikan ke belasan timnya di awal pembentukan Alibaba. Seorang mantan guru bahasa Inggris,  menyampaikan semangatnya untuk membangun satu eCommerce global raksasa yang akan menantang dan mengalahkan eCommerce lain dari Sillicon Valley, padahal coding pun Ia tak bisa.

Ia bicara tentang kompetisi global, rencana IPO, di apartemen kecil, di depan belasan orang, padahal produknya pun belum ada. Jack Ma memiliki keyakinan luar biasa dan sikap mental yang sudah meraksasa sejak awal. Dia menjadi underdog yang sudah menang, bahkan sebelum dibunyikannya genderang perang, karena dia tidak pernah melihat dirinya sebagai underdog.

Level tiga, the fighting underdog. Ini basi, tapi percayalah: there is no win without a fight. Jutaan orang saat ini terinspirasi oleh Jack Ma, lalu terlelap seharian dan terus bermimpi. Underdog semacam itu hanya akan menjadi pungguk yang merindukan bulan, bukannya mengumpulkan minions lalu mencuri bulan. Di kelanjutan pidatonya di tahun 1999 itu, Jack Ma bilang, “We will have to pay the pain for the next 3-5 years; that’s the only way we can succeed”. Dia menanamkan etos kerja yang lebih besar, dengan siap tersiksa, untuk mencapai visi besarnya. Dan dia tahu betul, dia ada di medan perang yang tepat untuk mengeksekusi strategi dengan cermat.

Dia memilih jalur tempur di internet commerce, bukan berjualan jangkrik aduan di pinggir terminal. Bisnis modelnya yang scalable berpadu dengan langkahnya yang actionable: maknyus. Maka, pastikan kita selalu memiliki daya juang yang besar, untuk sesuatu yang besar yang memang layak diperjuangkan. Dan ini memang tentang eksekusi: all you have to do is get up, and get your shit done.

Level empat, independent underdog. Yang bermasalah dalam sebuah kisah sukses adalah banyaknya orang yang mengekor terhadapnya. Tetiba semua ingin membuat eCommerce, agar kelak mereka bisa kaya raya, seperti Jack Ma. Visinya terpengaruhi, dan jalan hidupnya terkoreksi. Jika sampai begini, di titik ini kita telah kalah. Para underdog yang menang, tidak meletakkan visinya pada cerita sukses yang menjadi masa lalu; mereka justru mengukir masa depan. Mereka mencari, menggugat, dan mencerahkan jalannya dengan perjuangan yang mereka nikmati.

Please, write your story; make a history. Mari jadikan kisah sukses ini motivasi, tapi jangan sampai ini menjadi indikasi. Janganlah ini membuat jalan juang kita meredup, atau mengaburkan kita dalam memaknai kebahagiaan hidup. Torehlah sejarah waktu kita dalam garis menenangkan yang memang ingin kita hayati. Dan pastikan, semuanya ada dalam guratan yang ridho, dan diridhoi. Karena inilah level terakhir, the real winning underdog:

Bukankah kita hanya mengharapkan sebenar-benarnya kemenangan?

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke bagian orang-orang yang menyembahKu. Dan masuklah ke surgaKu” (Al-Fajr : 27-30)

(Artikel ini ditulis oleh Gibran Huzaifah ITB’07, CEO Cybreed. Saya dapet dari milis salah satu grup entrepreneur. Tulisan ini termasuk kategori wajib di-sharing. Sementara foto utamanya itu benernya cover poster pertunjukan teater Topdog, Underdog. Gambarnya bagus. Dagu buldog kalo dibalik jadi kayak mahkota. Mewakili banget)

 
Leave a comment

Posted by on September 24, 2014 in Smartpreneur

 

Tags: , ,

Leave a comment