RSS

Monthly Archives: July 2010

Metromini: Sport Jantung Sebenar-benarnya

Sejatinya, Metromini adalah nama perusahaan penyedia jasa angkutan umum di Jakarta. Bentuknya bus mini (mikrobus).

Warnanya yang mencolok, atas oranye, bawah biru, dengan setrip putih, membuat Metromini mudah dikenali. Apalagi dengan stigma pengemudi yang gak tau tatakrama itu (pada punya SIM gak sih?), membuat brand Metromini lebih moncer bila dibanding brand angkutan sejenis, seperti Kopaja, Miniarta, atau Deborah.

Pada dasarnya, bus-bus mini itu memiliki kapasitas penumpang hanya 25 orang.

Begini perhitungannya: di samping sopir, ada dua lajur tempat duduk. Di belakang sopir (sisi kanan) ada lima lajur. Sisi kiri (di antara dua pintu yang tak pernah tertutup) ada tiga lajur. Masing-masing lajur tadi berisi dua kursi, kecuali deretan belakang yang bisa ditempati oleh 5-6 orang. Jadi, kalo dalam kondisi normal (rata kursi, istilah mereka untuk menyatakan seluruh kursi terpenuhi) kapasitas Metromini hanya 25 penumpang.

Meski demikian, seringkali satu Metromini dijejali oleh 50 bahkan 70 orang. Mereka ini rela berdiri, bahkan bergelantungan di pintu. Apalagi kalau lagi zaman demo atau musim pertandingan bola di Senayan atau Lebak Bulus, para penumpang rela duduk di atas atap. *Boys and girls, please don’t try it at home.. It’s verrry verry dangerrrousss..*

Kalau dibandingkan dengan brand lainnya, Metromini memang jawaranya. Menyitir istilah ekonomi, Metromini itu Top of Mind bagi angkutan umum. Satu hal yang pasti, Metromini dikenal dengan stigma super duper ngawur. Gimana nggak ngawur, si sopir nyetir itu mobil kayak di jalan milik nenek moyangnya. Malang-megung ra jelas. Bodi belakang di mana, bodi di depan di mana. Udah gitu berhentinya gak pake kira-kira. Dan, yang pasti.. asap knalpotnya hitam pekat!! Bikin pengendara kendaraan yang di belakangnya hanya pasrah terima nasib.

Para sopir Metromini biasanya berasal dari daerah tertentu di Indonesia. Jadi nggak usah heran kalau mereka berkomunikasi dengan sopir lain dengan dialek yang sedikit membentak-bentak dan ada sering diakhiri dengan kata-kata “Lay..“.

Hal yang menonjol, para sopir ini demen banget mengalungkan handuk di leher dan duduk miring (tidak menghadap lurus ke depan), melainkan sedikit condong ke kiri. Sebab, badan menyandar ke jendela kanan. Pokoknya, gayanya super keren deehh.. Berasa paling top markotop.

Dari sisi armada, Metromini juga ajaib. Ini dibuktikan dengan tidak berfungsinya sejumlah instrumen kendaraan. Contoh paling kongkret adalah tidak adanya speedometer. Hal ini jelas menguntungkan pak sopir, sebab dia bisa mempraktekkan ilmu kiralogi berkendara hehehehe..

Pernah suatu ketika, mesin Metromini yang kutumpangi tiba-tiba meleduk. Pipa saluran pembuangan asap, yang tololnya, saat itu ditaruh di belakang pak sopir (yang sialnya tepat di depan tempat dudukku) tiba-tiba mengeluarkan asap tebal. Kontan, puluhan penumpang semburat ke luar. *Woi.. siapa yang gak takut itu Metromini meleduk? Kompor elpiji aja makin sering meleduk*

Soal jendela yang bolong, atap yang bocor, kursi yang “bentet” (pecah) yang membuat pantat kadang kejepit kursi plastik sialan itu, sampai bagian bawah bus yang keropos – yang membuat penumpang bisa ngintip aspal jalanan, adalah fasilitas tambahan dari Metromini.

Ya, gimana Metromini mau sempurna? Wong tarifnya cuma Rp2.000 (pelajar dan penumpang jarak dekat cuma Rp1.000). Tanpa subsidi pemerintah pula.

So, if you want to try something challenging, just try Metromini. Anda pasti akan merasakan Sport Jantung sebenar-benarnya. Gak perlu keluar uang ratusan ribu buat nyoba wahana di Dunia Fantasi deh hahahha..

 
2 Comments

Posted by on July 24, 2010 in Wheels on the Road

 

Tags: , , ,

Cara Turun dari Metromini yang Masih Berjalan

Baiklah, saat ini kita mulai belajar “survive” dari kejamnya ibukota, terutama dari ulah sopir Metromini yang terkutuk hehehehe… *Peace, bang!*

Bagi warga Jakarta, udah mahfum banget kalo jarang ada sopir Metromini yang berbudi luhur. Bersedia menyetir dengan penuh tata krama, termasuk menurunkan penumpang di halte dengan penuh hati-hati. One in a million deh.

Adalah hal yang biasa bagi warga ibukota (kaum marjinal, tentu saja. Kalo kaum borjuis mah “gak lepel” naek angkot) untuk naik-turun Metromini dalam hitungan sepersekian detik. Harus berkejaran dengan waktu. Sebab, pak sopir juga kejar setoran.

Agar selamat turun dari Metromini yang sedang berjalan (kondisi langsam), ada hal-hal yang perlu diperhatikan:

  1. Siapkan mental baja. Berdirilah dekat pintu keluar. Bila tujuan sudah dekat, ketuklah atap atau ketok-ketok kaca/tiang besi atau bisa juga pamerkan suara indah Anda untuk berteriak, “Kiri, Pir!”, “Kiri, Bang!” atau “Kiri, ya..”
  2. Bila Metromini tak berhenti sempurna, jangan takut, karena memang begitu kebiasaan mereka.
  3. Kalau sudah begini, pastikan kaki KIRI Anda terjulur ke luar pintu terlebih dahulu.
  4. Buatlah sudut 30 derajat antara kaki kiri dan aspal.
  5. Pastikan tumpuan berat tubuh berada di kaki kiri.
  6. Dalam hitungan ketiga (jangan lupa berdoa dan tarik nafas), jejakkan kaki KIRI Anda ke bumi.
  7. Yak! Bila kaki kiri sudah mendarat, dalam hitungan sepersekian detik, kaki kanan ikut menjejak ke bumi. Ingat, pendaratan dua kaki harus kurang dari 1 detik.
  8. Saat mendarat, condongkan badan ke depan (sedikit aja) untuk menyeimbangkan badan. Kalau malu mbungkuk-mbungkuk (berkesan kayak nenek-nenek), gerakkan tangan kanan ke depan badan. Intinya sih sama: keseimbangan badan. Hal ini penting bagi perempuan yang mencangklong tas di salah satu bahu. Kalau bawa tas ransel sih nggak begitu masalah.
  9. Dan, ya.. Anda berhasil turun dari Metromini yang masih berjalan. Hore!!

Bagi Anda yang masih ragu-ragu, silakan mempraktekkan teori di atas. Jangan dihafal, tapi diresapi. Biarkan tubuh Anda bergerak secara refleks.

Untuk para perempuan, tenang… pendaratan dari Metromini yang masih berjalan masih cukup aman untuk Anda yang mengenakan sepatu dengan heel (hak) sampai dengan 5 cm. *Saya sudah mempraktekkannya sendiri kok. So, don’t worry*

JANGAN sekali-kali turun dari angkot dengan kaki KANAN. Anda pasti akan terjungkal dan kaki dijamin bakal keseleo. *Saya juga sudah praktekkan hal ini. So, don’t try it without any expert supervision*

Ingat, kaki kanan hanya untuk naik kendaraan, kaki kiri untuk turun kendaran. Selamat mencoba hehehe… 😉

 
1 Comment

Posted by on July 23, 2010 in How to..

 

Tags:

Belajar dari Bayi

Nobody can go back and start a new beginning. But anyone can start today and make new ending.

(Maria Robinson)

Menjadi lebih tua, kadang belum tentu lebih bijaksana. Lihat diri kita puluhan tahun lalu, kita relatif lebih punya sikap “tidak menyerah”. Saat usia belum genap satu tahun, kita begitu terbiasa dengan lebam dan luka. Meski berkali-kali jatuh, gedebrak-gedebruk, waktu itu kita tetap berusaha berdiri dan melanjutkan berlari. Seolah memiliki paham “jatuh bangun dan luka itu biasa dalam hidup”.

Namun, begitu usia bertambah, di usia yang seharusnya kita menjadi lebih bijaksana, kita yang lebih tua ini justru tidak bijaksana. Kita takut untuk jatuh, takut untuk bangun lagi, takut untuk merasakan sakit. Sebab, kita yang lebih tua ini sudah pernah merasakan nikmatnya keseimbangan, berada di ketinggian, dan hal-hal indah lainnya.

 
Leave a comment

Posted by on July 22, 2010 in Random Thought

 

“Sateeee….”

Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis TV swasta nasional di Gedung Putih, Presiden AS Barack Obama dengan amat fasih menirukan suara teriakan orang jual sate, “Sateee…”

Ya, suara teriakan “Sateee..”, dok-dok tukang nasi goreng, tuk-tuk (atau teng-teng) tukang bakso, krek-krreek tukang patri, nung-nung tukang es lilin, ning-nong-ning-nong (atau neng-neng-neng-neng) perlintasan kereta api, “hu tahuu..” tukang tahu, jingle Susu Nasional, atau jingle Es Krim Walls berhasil menggoda ruang dengarku dan diam-diam menyusup ke lorong memoriku.

Suara-suara itu selalu mengingatkanku akan negeriku Indonesia.

Namun, ada satu suara yang menurutku adalah cerminan jaminan keamanan negeri ini, yakni suara benturan batu ke tiang listrik sebagai penanda jam.

Satu suara benturan “Teng…”, berarti jam 1 malem, “Teng.. teng..” berarti jam 2 malem. Biasanya sih yang iseng mukulin tiang listrik malem-malem itu adalah bapak-bapak yang lagi kena giliran ronda.

Kalo Anda mendengar suara itu, positive thinking aja lah kalo maling TV (yang biasanya selalu digambarkan berpakaian hitam, kupluk hitam yang menutupi wajah, plus sarung buluk buat mbuntel TV  curian) gak bakal beroperasi malam itu. Sebab, di poskamling ada bapak-bapak yang sukarela menjaga keamanan kampung. *Hm, gak sukarela juga sih benernya.. Daripada dipelototin pak RT hehe..*

Oleh karena bapak-bapak ronda itu bukan ‘orang profesional’ (baca: bukan anggota security dari perusahaan penyedia jasa pengamanan), insiden benturan batu ke tiang listrik bakal berakhir pada pukulan keempat, “Teng.. teng.. teng.. teng..”. Itu artinya, udah jam 4 pagi, udah mau Subuh. Bapak-bapak ronda udah mau pulang. Soalnya besok harus berangkat kantor hahaha..

Namun, kalau tadi kita bicara suara artifisial – yang dibikin oleh manusia, ada satu suara hewan yang selalu bikin aku kangen dengan negeriku ini: “ngkrik.. ngkrik..” suara jangkrik!

Boro-boro di luar negeri, suara jangkrik udah mulai jarang terdengar di kota-kota besar di Indonesia. Padahal, bagiku, suara jangkrik adalah ‘sound therapy‘ biar cepet tidur lelap. Zzzz…

 
Leave a comment

Posted by on July 21, 2010 in Random Thought

 

Mayasari Bakti: Perusahaan Keluarga yang Dikelola dengan Feeling

Ade Ruhyana Mahpud lebih sering terlihat berpakaian biasa-biasa saja. Baju lengan pendek, celana formal dan sepatu sandal. Sebuah cincin berlian melingkar di jari-jari manisnya. Tampil santai, hangat jika diajak bicara, sesekali muncul guyonan-guyonan yang menyegarkan.

Padahal, ia mengelola sejumlah perusahaan, termasuk beberapa yayasan. ”Sudahlah semuanya ini kami lakukan dengan ikhlas kok. Bukankah kalau kita meninggal kita tak akan membawa harta benda,” ujar Ade yang juga Managing Director PT Mayasari Bakti. Berkali-kali ia mengingatkan bahwa apa yang dilakukan bukan untuk mengejar pengakuan. Namun bagi pria kelahiran 31 Juli 1955 ini menilai sebagai sebuah kewajiban.

Semula Ade enggan diajak wawancara. Namun melalui seorang kenalan, akhirnya Ade bersedia menerima wawancara dengan Republika. Pada suatu sore di sebuah kantor di kawasan Jalan Fatmawati, Jakarta, wartawan Republika Damanhuri Zuhri dan Aris Eko mewawancarainya. Berikut petikannya.

Armada Mayasari Bakti tampaknya terus bertambah?

Alhamdulillah. Ibarat orang berenang kami sudah di tengah laut. Kalau investasi saja kemungkinan bisa terus jalan atau tenggelam. Apalagi tidak investasi, pasti tenggelam. Jadi ya sudah investasi terus. Setiap tahun kami investasi sekitar Rp 50 miliar. Dana sebesar ini terutama untuk meremajakan armada.

Bagaimana Anda menghitung faktor resikonya?

Kalau untuk bisnis transportasi tampaknya berjalan begitu saja. Sudah feeling. Ya kita yakin saja. Selain sudah bertahun-tahun mengelola bisnis transportasi, kami memang fokus dalam bidang ini. Bahkan saat ini bisnis transportasi yang kami tekuni juga sudah didukung oleh anak-anak perusahaan yang bergerak dalam bidang vulkanisir maupun karoseri.

Jadi investasi sebesar itu hanya didasarkan feeling?

Ya, tapi banyak berdasarkan feeling itu kan karena pengalaman. Tidak mungkin feeling timbul kalau tidak ada pengalaman. Kami sudah bertahun-tahun menekuni bisnis transportasi ini.

Tapi bukankah yang memulai usaha ini ayah Anda?

Ya, kadang-kadang saya lihat figur bapak yang mencintai pekerjaan ini. Sampai sekarang bapak saya itu fokus mengelola bisnis transportasi. Selain itu bisnis transportasi membutuhkan pengambilan keputusan secara cepat atau tidak bisa ditunda-tunda. Itulah sebabnya kalau Anda lihat pada perusahaan transportasi, pemilik senantiasa terjun langsung mengendalikan jalannya perusahaan.

Bagaimana dengan manajemen Mayasari Bakti?

Sampai sekarang selain Bapak, saya dan saudara-saudara saya memegang saham secara merata. Di samping itu direksi beberapa perusahaan juga masih dipimpin oleh saudara-saudara saya. Sehingga kalau mau rapat pemegang saham atau rapat direksi ya saling telpon saja, terus bertemu kemudian rapat. Begitu saja.

Tidak diserahkan kepada profesional?

Ya kita sama-samalah. Malah Bapak masih berkonsentrasi ke operasional.

Jadi pengelolaan perusahaan Anda itu benar-benar secara kekeluargaan.

Saat ini 90 persen direksi masih dari keluarga. Bapak, ibu dan saudara-saudara saya komisaris, Namun saya juga menjabat direktur, kakak direktur teknik dan operasi, teman ayah Atin Soetisna menangani personalia.

Apa tidak repot jika mendelegasikan tugas dan pekerjaan?

Ya ada. Tapi banyak senangnya. Jadi meski pengelolaan secara keluarga, alhamdulillah tidak pernah rugi.

Bagaimana kiat keluarga Anda bisa berhasil mengelola bisnis transportasi ini?

Bisnis transportasi itu risiko menghadapi depresiasi tergolong tinggi. Kalau uang ini diselewengkan bisa hancur. Tapi kalau itu diinvestasikan lagi maka berjalan terus.

Tapi saat terjadi krisis bukankah banyak perusahaan yang justru membatalkan investasi?

Saya justru berpandangan sebaliknya. Saya berpikir, saat itulah kesempatan yang baik untuk berinvestasi, terlepas ada uang atau tidak. Sebab saat banyak perusahaan lain tak mampu melakukan investasi maka saingan berkurang. Selain itu saya berpikir tak akan terjadi krisis terus.

Kebetulan ketika itu bapak saya sedang sakit. Namun saya minta kepada bapak agar saya diberi kesempatan. Maka pada saat krisis itulah kami melakukan investasi untuk armada bus ‘Doa Ibu’ dan ‘Karunia’.

Kebetulan ketika 1998 itu bus-bus di Jepang banyak yang tidak laku. Harganya juga sedang jatuh. Orang-orang dari Jepang itu malah menawarkan ke saya. Kemudian saya jawab saya tidak punya uang dan tak mungkin pinjam uang di bank. Tapi malah pihak Jepang itu tetap ngotot agar saya ‘mengambilnya’ dengan pembayaran 24 bulan.

Jadi ini semua lagi-lagi adalah saya percaya karena feeling, kepercayaan dan tawakal kepada Allah. Sebab saat normal kami jelas akan mengalami kesulitan. Selain itu untuk mengambil pasar akan sulit karena semua orang akan berebut investasi.

Mengurus bisnis transportasi seperti perusahaan Anda bukankah amat tergantung pada pengelolaan para awak kendaraan?

Memang komplek sekali, kenapa? Coba Anda bayangkan supir lulusan SD, SMP, SMA dikasih mobil (modal) yang harganya ratusan juta. Kemudian mobil itu dibawa ke mana-mana. Jadi semua itu atas dasar atau faktor kepercayaan saja. Tapi karena saya menikmati dan mencintai pekerjaan itu ya terus saja.

Kapan Mayasari Bakti didirikan?

Mayasari Bakti berdiri pada 1970, tapi bapak saya bergerak di transportasi sejak 1960. Cikal bakalnya bus dengan trayek Tasikmalaya ke Cirebon dan Tasikmalaya ke Bandung. Mayasari itu menurut bapak singkatan dari nama-nama keluarga kami.

Apa benar Mayasari Bakti tidak menggunakan jasa perbankan?

Saya kira itu salah. Kita tetap pakai perbankan dari Bapindo (sekarang bergabung menjadi Bank Mandiri-red) sampai sekarang. Kemudian kami juga dibantu pembiayaan oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI).

****

Bapindo (yang kini menjadi Bank Mandiri-red) dan tetangga merupakan dua pihak yang amat berperan saat awal berdirinya perusahaan yang didirikan H Mahpud di Tasikmalaya. Pasalnya, saat ayah Ade Ruhyana Mahpud itu mengajukan pinjaman ke Bapindo semula ditolak karena aset yang dijaminkan tak bisa memenuhi persyaratan karena terlalu kecil nilainya.

Kegagalan mendapat pinjaman ke bank itu diceritakan kepada para tetangganya. Namun tak diduga para tetangga dengan suka rela meminjamkan aset-aset yang dimilikinya untuk dijadikan jaminan. Atas dukungan para tetangga itulah PT Mayasari Bakti akhirnya mendapat pinjaman dan terus berkembang hingga kini.

Kepercayaan tampaknya menjadi modal utama bagi Ade Ruhyana dan keluarga besarnya menahkodai perusahaan yang kini asetnya sudah senilai lebih dari Rp 1 triliun. Meski awalnya didukung pinjaman, namun kini utang perusahaan tergolong kecil untuk ukuran perusahaan yang memiliki aset sebesar itu. ”Utang kami hanya sekitar 5 persen,” ujar suami Ida Farida Makmun.

Kini selain mengoperasikan sekitar 2.500 armada angkutan, PT Mayasari Bakti telah membentuk anak-anak perusahaan yang bergerak dalam bidang karoseri, vulkanisir, dealer Hino serta perusahaan lain yang masih terkait dengan bisnis transportasi. Tak hanya menguasai angkutan kota di Jakarta, perusahaan ini juga menyediakan jasa angkutan penumpang antarkota.

Peran tetangga nyaris tak pernah dilupakan. Hanya saja kepedulian itu lebih banyak diujudkan dalam bentuk sejumlah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah Al Mutaqin dan rumah sakit Islam di Tasikmalaya. Pendirian sejumlah masjid (termasuk merenovasi Masjid Agung Tasikmalaya-red) yang juga banyak menyita waktu Ade.

Pengelolaan yang masih mengandalkan peran keluarga tampaknya justru membuat Ade mudah mengambil sikap. Seperti untuk mengadakan rapat-rapat baik untuk perusahaan atau yayasan, Ade lebih sering memilih melakukan selepas sholat subuh. ”Ya kita tinggal saling telpon saja. Selain itu kalau pagi rasanya kita enak membahasnya,” papar ayah dari Alvi Riyadi H, Zulfikar Pujiadi S, Farizan Firdaus, dan Mohamad Andriana ini.

****

Kapan Anda mulai ikut menangani Mayasari?

Saya berkecimpung di Mayasari sejak 1985. Pada 1981 saya menekuni usaha kontraktor, karena saya lulusan Teknik Sipil. Namun waktu datang ke Jakarta ada teman Bapak yang punya pabrik di kawasan Cengkareng. Teman Bapak ini adalah pengusaha keturunan Cina yang menjadi supplier yang juga memiliki pabrik break system.

Pada saat itulah perusahaannya tengah mengalami kesulitan dan meminta bantuan kepada Bapak. Oleh Bapak, saya disuruh mengaudit perusahaan tersebut. Mungkin orang tua taunya saya ini sarjana, jadi apa saja bisa, ha ha ha.

Anda melakukan perintah audit?

Jadi meski saya lulusan Teknik Sipil maka terpaksa saya mengaudit perusahaan tersebut. Hasilnya saya menyimpulkan bahwa jika kami membeli 50 persen saham butuh dana Rp600 juta. Itu tahun 1986. Setelah terjadi transaksi maka saya menjadi Presiden Direkturnya.

Bagaimana Anda mengelola perusahaan itu?

Saya memulai dengan menghadapi kondisi perusahaan yang utangnya bertumpuk, dana habis, ekonomi terpuruk lagi. Namu saya tidak patah arang. Saya bekerja keras. Hasilnya, alhamdulilah akhirnya tahun 1987 muncul deregulasi yang mendorong lokalisasi.

Sebab setelah muncul ketentuan ini kami didatangi oleh pihak Honda dari Jepang. Sebab saat itu hanya ada dua perusahaan yang memiiki ijin pembuatan kampas rem. Selain perusahaan kami, satu lagi perusahaan dalam kelompok Gemala.

Apa yang ditawarkan pihak Jepang?

Mereka menyatakan mau menanamkan modal. Namun syaratnya harus bisa menguasai lebih 50 persen. Namanya perusahaan mau bangkrut ya saya oke-oke saja. Setelah negosiasi akhirnya pihak Jepang menguasai 60 persen, saya 20 persen dan pemilik awal 20 persen. Namun dalam perjalanan pemilik awal menjual sahamnya sehingga tinggal saya 20 persen sisanya pihak Jepang. Alhamdulillah sampai sekarang lumayan bagus, lah.

Jadi ini menurut saya merupakan pengalaman saya ‘disekolahkan’ oleh ayah saya, disuruh belajar kepada pengusaha keturunan Cina. Setelah perusahaan sudah bagus kembali keadaannya, saya sampaikan kepada bapak bahwa saya capek. Saya sampaikan pula kalau nanti perusahaan bangkrut maka saya tak lagi ikut bertanggung jawab. Namun alhamdulillah sampai sekarang masih berjalan dengan baik.

Mengapa banyak orang Sunda di Mayasari?

Yaa… banyak orang Sundanya tapi orang Jawa juga banyak, demikian juga etnis lainnya, tidak ada larangan.

Ada syarat khusus untuk bisa masuk ke Mayasari?

Tidak juga, biasa aja persyaratannya, tes. Malah mungkin di perusahaan kami ini banyak yang tidak benar dalam penerimaan karyawan. Sebab kadang-kadang ada oknum-oknum yang minta uang.

Bagaimana Anda menyeleksi atau mengelola awak armada yang umumnya rendah tingkat pendidikan serta memiliki lingkungan kerja yang keras?

Memang dari awal kita betul-betul melakukan seleksi seperti biasa dilakukan oleh perusahaan lain. Tak ada seleksi yang menyangkut larangan untuk agama tertentu. Dalam perusahaan kami ada yang beragama Islam maupun non Islam. Bahkan salah satu direksi kami orang Bali, sedang yang bertugas menangani surat-surat orang Batak. Semua berbaur di perusahaan ini. Selain itu kita juga memberikan pendidikan bagi karyawan.

Model pendidikan apa yang Anda kembangkan di perusahaan ini?

Prinsip kita sopir itu sudah pasti pandai menjalankan kendaraan. Oleh sebab itu dalam pendidikan yang kita kembangkan 60 persen materinya adalah agama. Sebab bukankah kita ini pada dasarnya hanya bisa berdoa dan berusaha. Segalanya itu ditentukan oleh ‘yang di atas’.
Saat ini sudah berjalan 19 angkatan, totalnya berjumlah sekitar 500-an karyawan yang telah mengikuti. Mereka mengikuti pendidikan selama dua hari dua malam.

Pendidikan itu untuk karyawan baru atau termasuk yang lama?

Pendidikan ini berlaku untuk seluruh karyawan. Selama mengikuti pendidikan mereka off namun mendapatkan uang makan. Saat ini karena jumlah karyawan yang banyak maka belum semuanya bisa mengikuti pendidikan.

Awak kendaraan sebagian besar lulusan SMA ke bawah, apa Anda tidak sulit mengurusinya?

Biasa-biasa saja, yang penting kita jangan menjauhi mereka. Saya sering minta rokok atau sepakbola bersama mereka. Selain itu mereka itu kan sudah terlalu disibukkan oleh pekerjaannya di lapangan. Oleh sebab itu kami membuatkan kegiatan untuk penyegaran rohani. Setiap pekan pada masing-masing poll kita adakan pengajian. Kita undang ustadz-ustadz untuk memberikan siraman rohani.

Memang masih banyak awak kendaraan yang suka main judi ataupun minum-minuman keras. Menjadi kewajiban kami untuk menyadarkannya.

Jadi bukan sekedar materi saja?

Iyalah, wong kita mau mati kok. Kepuasan kan bukan dari materi saja. Yang paling membahagiakan itu kalau kita bisa memberi kepada masyarakat kecil. Saya paling takut pada masyarakat kecil daripada orang-orang kaya. Saya paling takut kalau dijauhi sama orang-orang kecil. Sebab kalau kita sudah dijauhi orang-orang kecil itu susah hidup. Meski bukan berarti kita tidak boleh makan di Hilton.

Berapa jumlah karyawan?

Sekitar 6.000 orang. Itu sejak dari tukang sapu hingga direksi. Prinsip saya jumlah karyawan itu perbandingannya tidak boleh lebih dari satu mobil untuk empat karyawan.

Bagaimana Anda mendisiplinkan awak kendaraan memasukan pendapatan?

Di Mayasari kami tidak memberlakukan setoran. Tapi kami menentukan bahwa untuk satu ‘rit’ maka sudah ada ketentuannya untuk masing-masing trayek. Namun kalau mogok tak menyetor. Selain itu ada juga persentase. Di sini kami menggunakan checker yang bertugas menghitung jumlah penumpang pada suatu tempat tertentu suatu trayek. Misal untuk trayek Cibitung dan Cikupa ada 20 checker.

Jadi adalah tidak mungkin sopir tak membawa uang setelah menjalankan kendaraan. Meski demikian masih terjadi juga awak kendaraan yang nakal berusaha tak memasukan uang penumpang ke perusahaan.

Sering kita lihat bus Mayasari banyak penumpang yang bergelantungan. Mengapa hal itu seakan dibiarkan?

Saya kira hal itu persoalan yang sulit. Sebab penumpang yang berangkat dari Bekasi meski bus sudah penuh sesak mereka memaksakan diri naik.

Bagaimana dengan budaya kerja yang dibangun di Mayasari?

Kami menekankan pentingnya persamaan kolektif, sehingga karyawan juga dianggap keluarga sendiri.

Untuk keluarga karyawan apa yang diberikan perusahaan?

Untuk anak-anak karyawan kami memberikan beasiswa bagi yang masuk ke perguruan tinggi. Meski anak-anak para sopir sudah banyak yang menjadi sarjana. Kami juga ikut bangga atas kemauan keras mereka.

(published on Republika, date unknown)

 
2 Comments

Posted by on July 21, 2010 in Wheels on the Road

 

Tags: , , , ,

WAGs of the Bus Crews

Lagi-lagi soal privilege yang diterima sewa langganan bus PAC Mayasari Bhakti. Tapi ini hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya.

Nggak jauh beda dengan klub sepak bola kelas dunia yang punya komunitas WAGs alias Wifes and Girlfriends (baca: istri dan pacar), kru bus juga punya WAGs. Mereka ini punya privilege kelas platinum, dibandingkan sewa langganan.

Hal yang paling menyenangkan adalah: Gak perlu bayar ongkos bus!

Kalo si pacar atau suami “ngawal” di bus itu, si cowok tinggal bilang kalo WAGs-nya ada di dalam. Si cewek tinggal kasih senyum termanis ke petugas checker. Dan, ya.. sudah.. gak perlu bayar deh.

Kalau udah jadi Istri, mau duduk di bus jurusan mana pun pasti dapet privilege itu. Meski sang suami nggak “ngawal” bus itu. Tentu saja masih dalam jaringan Mayasari Bhakti.

Tapi, kalo statusnya masih Pacar, ya masih tergantung cowoknya. Itu sebabnya kalo pagi-pagi ada beberapa kru bus, yang meski gak bertugas, tetap berada di jalanan. Selain untuk menegaskan privilege para WAGs, juga untuk menemani sang pujaan hati hingga tempat tujuan. Ah, so sweet… ^_^

 
Leave a comment

Posted by on July 21, 2010 in Wheels on the Road

 

Tags: , ,

Pelihara Ikan di Dalam Sepatu

Satu tren yang pernah tercipta di jagat mode adalah sepatu beralas akuarium.

VIVAnews – Sepatu bukan lagi sekadar alas kaki, tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup pemakainya. Tak heran jika sejumlah desainer sepatu terus berkreasi menciptakan tren.

Pada tahun 1970-an, dunia mode memperkenalkan tren sepatu ‘disco goldfish’. Ciri khas sepatu ini memiliki akuarium mini di bagian hak atau solnya, yang biasanya terbuat dari bahan transparan semacam kaca akrilik.

Beberapa model didesain dengan menempatkan knop di bagian sol atau hak. Saat hendak dikenakan, knop bisa dibuka untuk memasukkan air dan ikan. Setelah digunakan, ikan bisa dikembalikan lagi ke akuarium yang lebih nyaman. Namun, ada juga yang melengkapinya dengan tombol gelembung udara untuk memberi napas ikan seperti akuarium pada umumnya.

Namun, belakangan tren sepatu itu lenyap. Banyak orang tak tega menempatkan ikan di dalam alas sepatu. Meski banyak pemakai menempatkan ikan hanya selama beberapa jam saat sepatu digunakan, namun seringkali ikan lebih cepat mati. Guncangan dan minimnya oksigen dalam sepatu membuat ikan cepat sekarat.

Itulah yang kemudian mendorong para desainer yang mencintai jenis sepatu ini memproduksi sepatu dengan tampilan ikan artifisial. Berbagai variasi yang diciptakan tetap sama, mulai dari model high heels, boot, pantofel, hingga sepatu olahraga.

(Vivanews. Senin, 19 Juli 2010, 14:39 WIB)

 
Leave a comment

Posted by on July 19, 2010 in Dunia Dalam Berita

 

Tags: ,

Chris Lie: Lulusan ITB yang Jadi Ilustrator Transformer dan GI JOE

Karena tergila-gila pada komik, Chris mencari beasiswa S2 untuk ilmu pembuatan komik di AS. Program magang di Devil’s Due Publishing mempertemukannya dengan Hasbro, pemilik lisensi komik Transformers dan GI JOE. Dari situ karir Chris Lie di dunia per-komik-an dimulai.

Nama Chris Lie memang tak setenar Chris John. Tapi keduanya merupakan putra bangsa yang sama-sama mengharumkan nama Indonesia. Bedanya, kalau Chris John adalah petinju pemegang gelar “Super Champions” kelas bulu WBA, sedangkan Chris Lie adalah ilustrator komik yang karya-karyanya sudah diangkat ke layar lebar.

Anda tentu masih ingat fenomena film Transformers: Revenge of the Fallen, setahun silam. Waktu itu, calon penonton bioskop rela mengantre demi selembar tiket film peperangan antarrobot. Hanya seminggu setelah dirilis, film yang dibintangi Shia Labeouf dan Megan Fox ini mampu meraup penghasilan US$200 juta (setara Rp1,83 triliun). Film Transformers diangkat dari komik yang salah satu ilustratornya adalah Christiawan Lie, pria kelahiran Bandung, 5 September 1974.

Ya, Chris, sapaan karib Christiawan, merupakan ilustrator komik yang karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia. Di antaranya, Transformers, GI JOE, Ninja Tales, Voltron, Return of The Labyrinth (peraih New York Times Manga Best Seller #4, bersaing dengan komik Naruto), dan Drafted One Hundred Days, yang salah satu serialnya mengangkat kisah Barrack Obama. “GI JOE itu karya pertama saya,” kenang Chris, seperti dikutip Warta Ekonomi.

Saat ini Chris dan Mark Powers, mantan editor X-Men yang menjadi mitra kerjanya, sudah mendaftarkan copyright dan trademark komik serial Drafted. Bahkan, New Line Cinema, salah satu studio film besar di AS tengah melakukan negosiasi film yang mengadopsi komik Drafted.

Tak cukup sampai di situ, game Marvel Ultimate Alliance II (Activision) untuk Playstation3/XBOX360, juga karya Chris. Di game tersebut, Chris mengonsep ulang desain karakter superhero dari komik Marvel agal lebih up to date dengan tampilan visual yang lebih keren.

Paling tidak, sampai saat ini, Chris – tentunya lewat perusahaannya yang bernama Caravan Studio, sudah menghasilkan 13 grafik novel dan komik, sepuluh ilustrasi, empat desain konsep, enam desain mainan, dan ilustrasi kemasan. Chris Lie merupakan salah satu orang Indonesia yang berhasil menembus industri komik mainstream di AS.

Magang Membawa Berkah

Chris memang tergila-gila pada komik. Ia mulai jatuh cinta pada komik saat membaca Tintin, saat kelas 3 SD. Selanjutnya, ia coba-coba menggambar komik. Lulus dari SMU Negeri 3 Surakarta, Chris bilang ke orang tuanya kalau dirinya ingin meneruskan pendidikan di bidang seni rupa dan desain. Sayangnya, ia tak mendapatkan lampu hijau dari orang tuanya. Alhasil, Chris pun memilih jurusan Arsitektur yang masih ada “berbau” seni. Beruntung, ia diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selepas dari ITB, pada 1997, pria yang lulus dengan predikat cum laude ini, bekerja di konsultan arsitek Nyoman Nuarta, dan ikut dalam proyek arsitek Garuda Wisnu Kencana, Bali. Tapi, dasar Chris yang cinta mati sama komik, setelah siangnya bekerja sebagai arsitek, malam harinya ia membuat komik. “Saya dan empat teman bikin komik kalau malam. Kalau siang, kita kerja kantoran,” kata Chris, terbahak.

Ternyata, Chris hanya bertahan setahun bekerja di konsultan arsitek. Pada 1998, ia mendirikan Studio Komik Bajing Loncat bersama empat kawan semasa kuliah di ITB. Di studio Bajing Loncat ini ia berhasil menerbitkan komik yang berjudul Katalis, Amoeba, Petualangan Ozzie, Ophir, dan lebih dari 15 judul lainnya. Waktu itu, mereka mencetak dan memasarkan sendiri komik-komik hasil karya mereka.

Usaha mereka tak sia-sia, Penerbit Mizan dan Elex Media Komputindo tertarik pada karya mereka. Mizan meminta mereka untuk mengisi ilustrasi kisah-kisa Nabi. Untuk menyelesaikan proyek tersebut, Chris menambah ilustrator menjadi sebelas orang. Sayangnya, kerjasama bisnis dengan dua penerbit besar di Indonesia itu hanya berlangsung tiga tahun. Meski pekerjaan lancar, penghasilan ternyata tidak mencukupi.

Chris dan empat kawannya sepakat melanjutkan hidup masing-masing, pada 2001. Chris pun kembali bekerja menjadi arsitek. Sambil bekerja, Chris terus membuat komik dan melamar beasiswa. Pada 2003, suami Rennie Setyadharma ini mendapatkan beasiswa penuh dari Fullbright Scholarship untuk melanjutkan program master di Savannah College of Art and Design (SCAD), Georgia, Amerika Serikat, selama dua tahun. Jurusan yang diambil adalah master di bidang sequential art. “Sederhananya, saya ambil jurusan komik,” jelas putra pasangan Lie Hong Ing dan Tan Hwa Kiem ini.

Kampus SCAD meminta mahasiswa untuk mengambil program magang, bisa di internal kampus atau di perusahaan. Chris memilih opsi kedua. Ia magang di Devil’s Due Publishing (DDP), Chicago, selama periode November-Desember 2004. DDP adalah perusahaan penerbitan yang memegang lisensi komik GI JOE. Chris merasa amat beruntung punya kesempatan magang di DPP. Sebab, tak mudah bagi mahasiswa asing untuk magang di perusahaan komik AS papan atas.

Seperti anak magang pada umumnya, Chris tidak dipercaya mengerjakan gambar. Melainkan hanya melakukan pekerjaan kantoran biasa. “Saya cuma disuruh fotokopi dan mengantar dokumen ke sana-sini. Kalaupun menggambar pasti tidak pernah dipakai,” kenang dia.

Suatu hari, Hasbro, perusahaan yang menaungi GI JOE dan Transformers, menawarkan proyek pembuatan tiga action figure GI JOE ke DDP. DDP meminta seluruh staf ilustrator (termasuk staf magang) untuk mengirimkan karya. Tak disangka, justru karya Chris terpilih!

Dengan rendah hati Chris mengaku bahwa dirinya yang berasal dari Asia menjadi salah satu faktor penentu. Sebab, waktu itu, demam komik Jepang tengah melanda AS. Kebetulan Chris memiliki “gaya” komik Amerika-Jepang. Jadi, dirasa pas dengan konsep market GI JOE besutan Hasbro.

Tawaran yang datang pada hari Jumat itu membuat pengagum komikus Jim Lee ini terpacu untuk ngebut menggambar tokoh-tokoh GI JOE dalam berbagai pose. Hasilnya, Chris mendapatkan kontrak untuk membuat action figure selama lima gelombang. Sampai 2008, ia mengonsep action figure GI JOE: Sigma 6 Soldier Series dan GI JOE: Sigma 6 Commando Series yang mencapai 25 buah. Untuk satu gelombang, perusahaan biasanya merilis lima tokoh.

Hidup dari Komik

Ketika Chris kembali ke Indonesia, pada 2006, Hasbro dan DDP menjadi klien tetap Chris. Proyek action figure GI JOE berlanjut pada proyek ilustrasi komik GI JOE dan Transformers. Satu hal yang membanggakannya adalah menerbitkan komik Drafted bersama Mark Powers. “Drafted adalah karya orisinal karena ide cerita dari kami berdua, sejak edisi perdana,” kata Chris, bungah.

Pada 2007, Chris membangun bisnis bernama Caravan Studio, dengan modal tabungan Rp150 juta. Caravan adalah studio konsep desain, komik, dan ilustrasi yang fokus pada penggarapan kreatif sebuah proyek. Bila kompetitor dari negara berkembang hanya mengerjakan labor work proyek dari perusahaan di negara maju, Caravan Studio justru aktif menggarap proses kreatif, mulai dari tahap pencarian dan pengembangan ide, desain dan art direction, hingga output berupa digital image. “Orang Indonesia sebenarnya banyak yang ikut serta dalam proyek komik di AS, tapi kebanyakan di bidang pewarnaan, bukan konseptor,” jelas Chris. Lebih lanjut ia mengungkapkan, untuk perusahaan sekelas Marvel, sebagai penciler (pembuat sketsa), Chris bisa meraup honor US$100 (sekitar Rp900.000) per lembar.

Di mata klien, Chris dan Caravan Studio dinilai memiliki penguasaan bahasa asing dan kualitas di atas rata-rata. Bekal pengalaman selama menggarap proyek Hasbro dan DDP menjadi nilai plus Caravan dibandingkan kompetitornya. “Saya termasuk orang yang diuntungkan dalam krisis 2008 silam. Banyak proyek lari ke Caravan,” kata dia. Chris mengaku mendapatkan proyek internasional dengan mengandalkan jejaring semasa kuliah di SCAD dan word of mouth. Kini, Chris tengah menggaet klien baru asal Eropa.

Ia mengungkapkan butuh enam hingga delapan bulan untuk mengerjakan satu proyek komik. Baginya, ada kepuasan tersendiri jika melihat komik karyawanya dipajang di rak toko buku. Apalagi komiknya diedarkan di seluruh penjuru dunia. “Comic is my life style. I create comic, I read comic, I analyze comic, I teach comic, I talk comic, and I get my income from comic,” kata Chris. Bagi dia, komik adalah segalanya.

Ari Windyaningrum

(was published on Majalah DUIT! ed 04/April 2010)

Caravan Studio. Telp : (021) 986 619 08. Website : http://www.caravanstudio.com. Email : info@caravanstudio.com

 
Leave a comment

Posted by on July 19, 2010 in Smartpreneur

 

Tags: , , , , , , , ,

Nilou: Sepatu made in Bali yang Berkilau di Aussie

Berawal dari obsesi masa kecil untuk memiliki sepatu yang pas di kaki, ketika dewasa Ni Luh membangun bisnis alas kaki. Semula, ia berkongsi dengan mitra. Tapi ambruk. Ia lalu mendirikan usaha sendiri, dan berhasil. Kini, sepatu tumit tinggi bermerek Nilou sudah dipajang di ratusan etalase yang tersebar di 20 negara.

Apa yang dirasakan di masa kecil, kadang terus membekas hingga dewasa. Obsesi Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik di masa kecil sungguh sederhana: ia hanya ingin memakai sepatu yang pas di kaki. Sewaktu sekolah, Ni Luh harus memakai sepatu tiga hingga empat nomor lebih besar dari ukuran kaki mungilnya. “Saya harus menyumpal ujung sepatu dengan kapas biar pas dan tidak terjengkang ketika melangkah,” kenang dia, tergelak.

Sebenarnya, Ni Luh bukan berasal dari keluarga miskin. Namun, karena sang ibu, Ni Nyoman Palmi menyekolahkan anak-anaknya di sekolah mahal, maka mereka harus menyesuaikan pengeluaran dana. Sepatu, kata Ni Luh, tidak termasuk dalam daftar barang yang wajib dibeli di tiap tahun ajaran baru. “Waktu itu, saya tidak bisa berkata kalau hidup kami kekurangan,” kata Ni Luh, seperti dikutip Jakarta Post. “Kami hanya menyesuikan gaya hidup demi mendapatkan pendidikan terbaik,” imbuh dia. Dahulu, ibunda Ni Luh yang seorang janda itu, dengan gigih menyekolahkan anak-anaknya di Saraswati, sekolah terbaik di Bali, pada waktu itu.

Saking sebalnya memakai sepatu yang selalu kegedean, suatu ketika, Ni Luh berjanji ke ibundanya bahwa bila kelak ia akan membeli sepatu yang ukurannya pas dengan kakinya. Setamat SMA, Ni Luh hijrah dari Kintamani ke Jakarta. Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma sambil bekerja di sebuah perusahaan tekstil asal Jerman. Waktu itu, ia bekerja serabutan. Mulai dari resepsionis, kasir, sampai menjadi asisten dari beberapa sekretaris.

Begitu mendapatkan gaji pertama, ia pun langsung melaksanakan nazar membeli sepatu yang sesuai ukurannya di sebuah toko di kawasan Blok M, Jakarta. Ia memilih sepatu bertumit tinggi (high heel) seharga Rp15.000. “Sepatu pertama saya yang pas di kaki, sungguh tak nyaman dipakai,” kata dia, kesal. Rasanya, sambung dia, kaki seperti disiksa. Padahal, saat itu Ni Luh harus berdiri di kereta selama dua jam dan delapan jam berdiri di kantor, sebelum menuju kampus untuk mengambil kuliah malam.

Seiring dengan membaiknya kondisi keuangan, Ni Luh pun akhirnya mampu membeli sepatu impian yang nyaman di kaki dan pas di hati. Satu tahun setelah lulus kuliah pada 1999, Ni Luh pulang kampung ke Bali dengan menentang 200 pasang sepatu! Sepatu-sepatu itu ia beli di Jakarta selama periode 1994 sampai 1999.

Di Bali, ia kembali mendapatkan pekerjaan di perusahaan fashion, tapi kali ini milik pengusaha Amerika. Tapi, passion pembaca setia novel-novel karya John Grisham ini tak pernah lepas dari sepatu tumit tinggi.

Ia benar-benar terobsesi oleh “kekurangan” dia di masa lalu. “Saya punya prinsip bahwa tiap perempuan seharusnya bisa memakai sepatu dengan tumit setinggi 12 cm dengan nyaman,” tegas dia, seperti dikutip Villa and Yacht Magazines.

Kini, Ni Luh memiliki brand sepatu sendiri bertajuk Nilou. Sejumlah selebriti Hollywood papan atas, seperti Uma Thurman, Julia Roberts, supermodel Gisele Bundchen dan Tara Reid, dan Robyn Gibson (mantan istri Mel Gibson) merupakan sebagian perempuan yang fanatik memakai sepatu Nilou. Sepatu made in Bali ini kini dipajang di ratusan etalase di 20 negara di dunia, selain di kantor pusat Nilou di Denpasar. “Kalau Uma beli sepatu Nilou di Saint Barth.” bisik Ni Luh, merujuk ke sebuah pulau kecil di Kepulauan Karibia.

Tiga Pasang Untuk Pajangan

Cerita Ni Luh membangun bisnis sepatu tak semudah membalik telapak tangan. Ia sempat mengalami jatuh bangun sebelum akhirnya menuai kesuksesan. Pada 2003, ketika menjabat sebagai direktur pemasaran di sebuah perusahaan garmen terkemuka di Bali, Ni Luh ingin berpindah kuadran. Bersama rekannya dari Perancis yang juga pecinta sepatu, ia mendirikan usaha pembuatan sepatu. Tapi, sayangnya, bisnis patungan itu ambruk.

Tidak terlalu lama tenggelam dalam kesedihan, Ni Luh kembali mencoba peruntungan di bisnis sepatu. Kali ini ia berjuang sendiri. Pecinta shopping dan travelling ini menggunakan uang tabungan sebesar Rp3 juta untuk modal awal, kebanyakan ia gunakan untuk menyewa tempat usaha. Penampilan toko pertamanya jauh dari kesan eksklusf. Temboknya kusam, beberapa bagian kayu sudah mulai lapuk, dan sebagian ruangan masih berdinding anyaman bambu (gedhek).

Di awal pendirian, Ni Luh membutuhkan waktu hingga dua bulan untuk menyelesaikan satu desain sepatu. Alokasi waktu paling lama untuk berdiskusi dengan tukang. Biasanya, ia menunjukkan sepatu mahal koleksinya ke tukang. “Saya tanya ke mereka, bisa nggak bikin yang lebih bagus dari ini,” kata penggemar alas kaki karya Manolo Blahnik dan Christian Louboutin ini. Ia lalu memberi gambaran detail apa saja yang harus ditempel dan bahan apa yang dipakai untuk hiasan.

Saking tipisnya modal usaha, anak pasangan Ni Nyoman Palmi dan I Putu Djelantik ini hanya mampu memajang tiga sepatu di etalase toko. Biar tak merugi, Ni Luh menyiasati baru akan membuat sepatu kalau ada yang memesan. Tak cuma sepatu, Ni Luh pun menerima pesanan tas dan ikat pinggang.

Seiring dengan berjalannya waktu, untuk membesarkan usaha, Niluh nekat meminjam Rp15 juta dari bank. Modal tambahan itu sebagian besar digunakan untuk memperbaiki penampilan toko, dan tentu saja belanja modal. Kala itu, ia sudah memiliki dua pekerja. Satu tukang sepatu dan satu lagi pelayan toko. Ia pun menggunakan slang namanya, Nilou sebagai brand dan nama toko.

Pada 2004, Ni Luh mendapatkan kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris. Ini membuat pintu perdagangan ke Eropa terbuka lebar.

Keberuntungan tampaknya kembali menaungi perempuan kelahiran 15 Juni 1975 ini. Pada suatu hari, di tahun yang sama, datang seorang perempuan berkewarganegaraan Australia ke gerai Nilou di kawasan Seminyak, Bali. Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Sally Power ini mengaku terkesan dengan sepatu Nilou dan menawarkan diri untuk menjadi distributor di Negeri Kanguru.

“Semula, saya hanya berpikir Nilou sekedar toko sepatu mungil untuk pasar lokal. Siapa yang ingin pesan sepatu cantik, bisa datang ke gerai saya,” kenang dia. Tapi, setelah Sally berkunjung ke tokonya, Ni Luh merasa tertantang untuk membuktikan bahwa karya Indonesia tak seburuk seperti apa yang dibayangkan orang. “Kadang, masih banyak orang asing yang mempertanyakan kualitas produk lokal. Saya ingin buktikan bahwa produk Indonesia memiliki kualitas jempolan,” kata dia, seperti dikutip Tempo.

Fokus Tumit Tinggi

Untuk membedakan dengan produsen sepatu lainnya, Nilou hanya fokus ke pembuatan sepatu dengan tumit antara 10 cm hingga 12 cm, tapi belakangan ia juga menggarap sepatu tanpa hak tinggi. Menurut Ni Luh, sepatu tumit tinggi yang baik adalah sepatu yang tetap nyaman dipakai meski sudah dipakai selama delapan jam. Bukan sepuluh menit.

Itu sebabnya, Ni Luh begitu peduli pada proses pembuatan. Satu tukang, kata dia, bertanggung jawab untuk menyelesaikan satu pasang sepatu. Dari memotong bahan, menjahit, hingga membentuk hak sepatu. “Kalau saya melihat lima pasang sepatu yang berjajar di etalase, saya tahu siapa pembuat masing-masing sepatu itu,” kata Ni Luh. Sebab, antara satu tukang dan tukang lain memiliki gaya yang berbeda, meski hal itu hanya akan tampak di mata Ni Luh seorang.

Menurut Ni Luh, tak masalah jika dalam satu hari workshop-nya hanya bisa memproduksi satu pasang sepatu saja. Sebab, ia begitu peduli soal kualitas produk, bukan kuantitas. Untuk sepatu dengan model tak begitu njlimet, seorang tukang bisa menyelesaikannya dalam waktu tiga jam. Workshop Nilou hanya berjarak 50 meter dari gerai Nilou, yang letaknya persis di tikungan Jalan Raya Seminyak menuju Kerobokan ini.

Kalau di awal pendirian Ni Luh hanya mampu memproduksi tiga pasang sepatu, itu pun hanya untuk barang pajangan, kini Nilou memiliki kapasitas produksi 200 pasang sepatu per bulan. Dahulu, ia hanya memiliki dua karyawan. Kini, ibu satu anak ini dibantu oleh 22 karyawan dan tiga asisten kepercayaan.

Ni Luh mengaku terinspirasi oleh alam dan grafis. Sepatu-sepatunya kebanyakan memakai bahan baku kulit asli, yang kemudian dikombinasikan oleh karung goni, kuningan, kayu, hingga manik-manik. Atas nama eksklusivitas, Nilou menghargai satu pasang sepatunya antara Rp700.000 hingga Rp4 juta.

Jangan khawatir, harga itu sudah termasuk garansi seumur hidup. Katakan, dalam tiga tahun mendatang sepatu yang Anda beli solnya rusak, Nilou akan mengganti karet sol tanpa tambahan biaya apapun. Atau, Anda bisa mendapatkan diskon khusus bila ingin membeli sepatu baru. Setiap bulan, seperti yang dikutip Tempo, omzet perusahaan ini mencapai Rp800 juta. “Kami memang menyasar segmen yang berbeda dengan produksi pabrik, yang begitu sensitif terhadap harga,” terang dia.

Selain mendesain untuk label Nilou miliknya, Ni Luh juga mengerjakan desain untuk sejumlah brand Australia dan Eropa. Secara khusus, Ni Luh mengungkapkan bahwa dirinya membutuhkan waktu delapan bulan untuk memikirkan desain musim yang akan datang. Adapun workshop milik Ni Luh, selain mengerjakan produk Nilou, mereka juga menyelesaikan pesanan untuk sejumlah desainer Australia, seperti Nicola Finetti, Shakuhachi, Tristanblair, dan Jessie Hill.

Pasar dalam negeri memang belum begitu familiar dengan Nilou. Sebab, brand ini hanya memiliki tiga gerai di Indonesia, antara lain di jalan Raya Kerobokan, Kuta; Alun-alun Grand Indonesia dan Pasaraya Grande, keduanya di Jakarta. Bandingkan dengan di Australia, di mana Nilou memiliki 35 gerai. Kini, sepatu Nilou mejeng di 20 negara di dunia, di antaranya AS, Perancis, Inggris, Karibia, Jepang, dan Uni Emirat Arab. “Bangga rasanya sepatu kita bisa sejajar dengan produk asing,” kata Ni Luh.

Ari Windyaningrum

(was published on Majalah DUIT! ed 01/Januari 2010)

Nilou’s Shoes Emporium.  Jl. Kerobokan 144, Seminyak, Bali. Telp: 0361-7446068. http://www.nilou.com.au

 
1 Comment

Posted by on July 19, 2010 in Smartpreneur

 

Tags: , , , ,

Wiper Helm

Akhir-akhir ini hujan mengguyur nggak tahu adat. Kalau zaman dahoeloe kala nih.. hujan baru deres di bulan-bulan yang berakhiran -ber, seperti September, Oktober, November, Desember. Tapi, sekarang, beuhhh.. hujan turun semau-maunya aja.

Paling ribet kalau naik motor dan kehujanan. Pandangan sering kehalang air. Nasib biker memang beda ama pengendara mobil. Beda kasta hahaha..

Dari SMA, sebenarnya aku udah kepikiran buat bikin wiper untuk kacamata. Kebetulan waktu itu belum zaman helm SNI yang mukanya ketutup kaca plastik (lha, piye to iki, kaca kok plastik hehehe..). Rasanya nikmat banget kalau menembus hujan tanpa harus ribet menghapus air dari kacamata (atau helm, di kondisi saat ini).

Sepertinya keren banget kalo di helm SNI ada wiper kayak yang ada di kaca-kaca mobil itu. Wiper mini bakal digerakkan oleh batere, yang terserah pemiliknya, mau dipasang terus di helm atau dibongkar-pasang tergantung cuaca. Bisa jadi takut wiper-nya disamber maling helm di parkiran tu hahahaha…

 
Leave a comment

Posted by on July 19, 2010 in Smartpreneur