RSS

Monthly Archives: May 2012

Suatu Saat di Kuta, Bali

Sejak saat itu hatiku tak mampu membayangkan rasa diantara kita. Di pasir putih kau genggam jemari tanganku, menatap mentari yang tenggelam…

Ada perasaan yang bergelora di dalam dada setiap kali saya mendengarkan lagu Kuta, Bali milik Andre Hehanusa. Lirik lagu yang romantis dan denting piano yang bening berhasil membuai emosi. Tanpa ragu, saya pun menjadikan lagu tersebut sebagai salah satu original soundtrack (OST) sepenggal kisah hidup saya.

Fakta bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau ternyata tak berpengaruh pada saya. Sepanjang hidup, setidaknya hingga 15 tahun pertama, saya hanya bertahan di satu pulau saja, Jawa. Paling banter ke Madura, pulau tetangga. Itu pun karena saya bisa naik kapal feri Potre Koneng ke Bangkalan, makan soto ayam (tak ada soto Madura di pulau Madura), lalu kembali lagi ke Surabaya. That’s it. Kalau boleh meminjam slogan Keluarga Berencana di era pak Harto, Dua Pulau Cukup.

Hingga kemudian, menjelang kelulusan SMP, saya memiliki kesempatan untuk menjejak pulau ketiga: Bali. Terlahir di negara tropis, yang seringkali menjadi destinasi wisata dunia, ternyata tak berpengaruh pada pengetahuan pariwisata saya. Waktu itu, akses informasi belum sebanyak sekarang. Maka tiga hal teratas di benak saya mengenai Bali hanyalah pantai, matahari terbenam (sunset), dan indah.

Beberapa saat setelah EBTANAS, saya bersama rombongan satu sekolah menuju Pulau Dewata. Waktu itu, kalau tidak salah, sekolah kami menyewa enam bus AC. Perjalanan Surabaya – Bali harus kami tempuh hampir sehari semalam, karena rombongan tertahan di Banyuwangi, menunggu giliran menyeberangi selat Bali.

Sepanjang perjalanan, bus kami memutar lagu-lagu yang tengah nge-hits. Salah satu artis yang sedang naik daun di masa itu adalah Andre Hehanusa. Salah satu kawan yang pandai memainkan gitar tak bosan menirukan aksi nyong Ambon itu, ia terus menyanyikan lagu KKEB, Kuta Bali, atau Bidadari sepanjang perjalanan.

Sambil terkantuk-kantuk, otak saya memproses lagu Kuta, Bali di alam bawah sadar. Ah, ya, Bali is beautiful. Bali is romantic. Bali is good. Dalam imaji saya, rombongan kami akan menghabiskan waktu di Kuta untuk menyaksikan tenggelamnya matahari. Semburat jingga. Debur ombak. Bergandengan tangan. Sayang, waktu itu saya masih polos, sehingga tak ada niatan untuk selingkuh. (Maksudnya?)

Sesuai jadwal, di hari kedua, kami menikmati sunset di pantai Kuta sebelum makan malam di tempat yang telah ditentukan. Dalam perjalanan dari penginapan, saya tersenyum penuh arti. “Pasti nanti kayak di lagunya mas Andre Hehanusa..” begitu pikir saya. Bayangan pantai Kuta yang indah dan romatis menari-nari di benak. Saya bahkan sudah mengincar kawan tetangga kelas yang ganteng untuk berfoto bersama. Sebagai misi memanaskan emosi cowok saya yang terlalu terkontrol itu.

Tapi, begitu kaki menginjak bumi, plasss.. bayangan yang indah itu langsung menguap. Senyuman manis serta merta berubah menjadi senyum kecut. Sepanjang mata memandang, saya hanya bisa melihat bus-bus pariwisata memenuhi pinggir pantai Kuta. Debur ombak telah tertutup derum bus yang berancang-ancang untuk parkir. Pantai berpasir putih telah berubah menjadi lautan manusia. Semburat jingga warna mentari yang akan tenggelam telah menjelma menjadi payung-payung besar bertuliskan Teh Botol Sosro yang juga berwarna jingga. Saya terpedaya Kuta.

…Suatu saat di Kuta Bali

 
Leave a comment

Posted by on May 30, 2012 in Random Thought

 

Tags: ,

Ecopreneur: Dari Sampah Terbitlah Rupiah

Timbunan sampah bisa menjadi barang yang amat berharga bila ada ecopreneur yang jeli memanfaatkan peluang. Berbekal kreativitas, sampah yang terbuang bisa menjadi produk baru bernilai ratusan juta rupiah.

Tahukah Anda, berapa volume sampah yang dihasilkan warga Ibu Kota per hari? Menurut catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, tiap orang di kota ini menghasilkan sampah rata-rata 800 gram per hari. Mulai dari wadah styrofoam dan kantong plastik yang sulit terurai hingga kertas bekas dan sisa-sisa kulit kacang yang bisa terurai.

Dengan penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari warga Jakarta menghasilkan 6.000 ton sampah (1 ton setara dengan berat 6.000 gajah). Kalau seluruh sampah tadi ditumpuk di Taman Monumen Nasional (Monas) yang luasnya 110 hektar, niscaya dalam 40 hari taman itu bakal tertimbun sampah setinggi satu meter. Dan, kalau dibiarkan menumpuk selama satu tahun, warga Jakarta bisa membangun 185 candi Borobudur yang berisi sampah. Wow!

Sayangnya, sampah-sampah tadi hanya dibuang begitu saja ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Kalau tak memperhitungkan daya tampung, bukan tidak mungkin, bencana sampah longsor bakal terjadi lagi. Padahal, kalau saja sampah itu dikelola dengan prinsip reuse, reduce, recycle, Bumi tak hanya sekadar lebih terawat. Tapi, bagi pihak yang mampu mengelolanya dengan baik, akan mendapatkan omzet hingga ratusan juta rupiah, bahkan lebih.

Tak percaya? Simak pengalaman Hidayat, pelopor konsep waste management di Indonesia. Ecopreneur (entrepreneur yang bergerak di bidang lingkungan hidup) dari Jatimurni, Pondok Gede, Bekasi ini menawarkan konsep waste management untuk pemukiman dan pasar tradisional. Bila diterjemahkan secara bebas, waste management artinya pengelolaan sampah. Di negeri ini, Hidayat telah merintis bisnis itu sejak 1993.

Semula, Hidayat, melalui PT Mitratani Mandiri Perdana (Mittran) memproduksi mesin pengolah sampah, seperti mesin pencacah plastik dan pengepres sampah. Sayangnya, mesin-mesin itu tidak banyak peminatnya. Oleh karena sudah terlanjur mempekerjakan banyak karyawan, dia harus memikirkan masa depan bisnisnya. Hingga suatu hari, ia memiliki ide untuk memberdayakan mesin-mesin buatan pabriknya. “Daripada mangkrak di gudang, saya memperluas cakupan bisnis Mittran dengan menawarkan jasa pengelolaan sampah,” ungkap Hidayat.

Sebagai pilot project, ia menawarkan jasa ke lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Jatimurni. Ia meminta izin dari ketua RT/RW. Sayang, niat baiknya tak disambut warga. “Padahal, waktu itu saya tawarkan gratis,” keluh Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia ini. Tapi, entrepreneur sejati pantang menyerah. Berbekal izin dari ketua RT/RW setempat, karyawan Mittran memasang tong sampah di pinggir jalan kampung Jatimurni, yang mayoritas dihuni masyarakat kelas sosial menengah-bawah.

Saban pagi, karyawan Mittran mengambil sampah dari rumah ke rumah tanpa menarik retribusi satu sen pun dari warga. Berselang satu bulan, di depan rapat warga, Hidayat menawarkan opsi: masyarakat meneruskan memakai jasa Mittran untuk membersihkan lingkungan atau tidak. Ternyata, “Setelah mencoba layanan kami secara gratis, warga mufakat terus memakai jasa kami,” seloroh suami Kusmayawati ini. Sebagai entrepreneur, ia menuturkan bahwa layanan pengelolaan sampah ini tidak gratis. Nyatanya, warga setuju membayar retribusi Rp30.000 per bulan per tong.

Meski sudah membayar, Hidayat memberi peraturan tegas bagi warga. Karyawan Mittran hanya mengambil sampah yang dimasukkan dalam tong. Kalau sampah tercecer (karena tong kelebihan muatan), tim pengambil sampah akan membiarkan sampah-sampah itu. Menurut Hidayat hal ini untuk melatih kedisiplinan warga dalam menghitung sampah yang mereka hasilkan. Hanya sampah yang tak bisa diolah yang bisa memenuhi tempat sampah. Sebab, Mittran menawarkan program barter untuk barang yang bisa didaur ulang, misalnya buku telepon, koran bekas, atau botol beling (kaca). Tiap kilogram, perusahaan akan memberi nilai Rp500 yang bisa ditukarkan dengan mi instan, telur, atau susu. “Program barter ini merangsang masyarakat untuk memilah sampah yang akan mereka buang,” kata dia.

Setelah mengambil sampah dari tiap rumah, sampah kemudian ditampung ke lokasi penampungan sementara. Di tempat itu, sampah mulai diolah. Seluruh sampah yang diangkut mobil pick up dimasukkan ke mesin sortasi. Nantinya, tim Mittran mendapatkan bakal dua jenis sampah, yakni organik dan anorganik. Sampah organik akan diolah dan dijual dalam bentuk kompos. Adapun sampah anorganik, tim Mittran akan melakukan proses lebih panjang. Sampah plastik yang masih bagus akan dijual ke pihak lain untuk didaur ulang. Sedangkan sampah anorganik yang tak bisa dimanfaatkan lagi akan dipadatkan untuk dijadikan biomassa.

Nah, sampah biomassa ini harganya jauh lebih mahal ketimbang kompos atau bahan baku produk daur ulang. Sebab, biomassa adalah bahan bakar alternatif. Perusahaan yang mengeluarkan kadar karbondioksida (CO2) dalam jumlah besar dari cerobong asapnya, seperti pabrik semen atau pabrik gula, kini mulai mencari biomassa. “Mereka memilih biomassa karena BBM industri makin mahal. Selain itu, mereka ingin mendapatkan kredit karbon karena menggunakan energi alternatif,” jelas Hidayat.

Berhasil di kampungnya, bisnis Hidayat terus melebar. Kini ia mengelola sampah untuk beberapa komplek perumahan dan pasar tradisional. Konsep pengelolaan sampah ala Hidayat terus diduplikasi. Sebab, di bawah naungan Yayasan Rumah Perubahan, Mittran mengadakan program penciptaan 1.000 entrepreneur sampah. “Kalau dikelola dengan benar, sampah bisa menjadi amat berharga,” tutur Hidayat. Sebagai gambaran, omzet bisnis sampah ini mencapai sekitar Rp225 juta per bulan. Ini belum termasuk penjualan mesin pengolah sampah, biaya pelatihan, dan fee dari perusahaan pemakai jasa.

Lantas, tak salah jika Valerina Daniel, Runner Up Putri Indonesia 2005 menyatakan jika bisnis yang berkaitan dengan isu-isu ramah lingkungan amat menjanjikan. “Bisnis berbasis ecopreneur tidak hanya menjanjikan dari sisi bisnis, tapi juga memberi kepuasan karena kita bisa mempertanggungjawabkan moral terhadap ekosistem alam yang makin terancam,” urai Duta Kementrian Lingkungan Hidup ini. Menurut dia, makin banyak entrepreneur yang melirik bisnis berbasis pada isu ramah lingkungan. Seperti pusat-pusat daur ulang sampah yang kini tersebar di seluruh Nusantara.

Membatik di Filter Oli Bekas

Setiap 22 April, seluruh warga dunia memperingati Hari Bumi. Perayaan ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap planet yang kita ditinggali bersama: Bumi. Sayangnya, ada sebagian masyarakat yang tidak sadar kalau ulahnya bisa makin merusak lingkungan. Misalnya saja menggunakan tas kresek baru setiap kali berbelanja di minimarket langganan, minum dari gelas atau piring sekali pakai (yang biasanya terbuat dari styrofoam), atau membeli sabun pencuci piring dengan kemasan isi ulang kecil. Terlihat sepele. Tapi, ternyata, tiga aktivitas itu menciptakan lebih banyak sampah.

“Sampah merupakan masalah serius. Tapi, selalu dihindari orang,” keluh Freddy Rangkuti, pakar strategi bisnis dan marketing dari MD Frai Marketing. Menurut Freddy dari lingkungan terkecil, yakni rumah tangga, hingga lingkungan korporat, selalu menghasilkan sampah. Tapi, tidak banyak yang mau menggali potensi bisnis dari sampah. “Masyarakat menggantungkan masalah sampah pada pemerintah,” imbuh dia.

Freddy mengamini pernyataan Hidayat bahwa sampah bisa menjadi barang yang amat berharga. Asalkan mengerti cara memanfaatkan peluang itu. Dosen program doktor manajemen Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) ini menyoroti ada dua potensi pendapatan yang bisa diambil dari sampah, yakni retribusi dan penjualan produk daur ulang.

Sementara itu, menurut Yoris Sebastian, Chief Creative Officer OMG Creative Consulting para entrepreneur yang bergelut di bidang pengelolaan sampah (ecopreneur) merupakan orang-orang kreatif. “Mereka mampu menciptakan produk olahan yang berbeda dengan produk kebanyakan. Butuh kreativitas tinggi untuk menyulap benda tak terpakai menjadi karya yang unik dan mahal,” kata Yoris, di sela-sela seminar Green Living Tupperware.

Simak bagaimana G.S Ade Asmara dan Nova M. Napitupulu memanfaatkan filter oli bekas dan limbah besi untuk dijadikan lampu hias (art lighting) dan aneka pajangan cantik. Di tangan Ade, lempengan besi dan filter oli bekas dibatik. Bedanya, bila membatik di atas kain, Anda menggunakan canting. Membatik di atas lempengan besi harus menggunakan las. “Butuh waktu tiga sampai lima jam untuk membatik,” ujar Ade. Tapi, sebelum memulai proses membatik, besi-besi bekas itu harus direndam ke dalam larutan cairan kimia semalaman untuk menghilangkan karat.

Selama ini, Skala 6 menggunakan motif batik Jawa, Betawi, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Papua untuk mempercantik lampu hias karya mereka. Maka, tak heran jika banyak warga asing tertarik membeli produk besutan Ade. Apalagi, Ade memiliki galeri di Bali. Produk buatan Skala 6 dibanderol antara Rp35.000 hingga Rp525.000 per buah. Menurut Ade saat ini dirinya telah mengekspor produk ke Jerman, Perancis, Uni Emirat Arab, dan Thailand. “Proses produknya rumit, tapi terbayar dengan hasilnya yang cantik,” ucap pria kelahiran 6 Oktober 1974 ini. Agar kualitas selalu terjaga, Ade memilih untuk memproduksi barang secara terbatas.

Gaun Pengantin dari Kresek

Tapi, apalah artinya kreativitas bila pasokan baku terhambat. Itu sebabnya, Ade menjalin kerjasama dengan PT Astra International Tbk. untuk mendapatkan pasokan filter oli bekas dalam jumlah banyak dan kontinyu.

Sedangkan Slamet Riyadi, lewat CV Lumintu yang menyulap tube pasta gigi menjadi tas cantik, mendapatkan pasokan dari PT Delident Chemical Industri, produsen pasta gigi Delident yang berbasis di kawasan Daan Mogot, Tangerang. Setiap tiga bulan sekali, Slamet mendapatkan 1,5 ton tube reject dari perusahaan itu. Kata Slamet, ini merupakan salah satu program CSR Delident. Adapun pasta gigi Delident sendiri banyak diekspor ke Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa Timur.

Sementara itu, Heryanti Simarmata mendapatkan pasokan bungkus plastik bekas karena ia berada di kawasan yang memiliki sentra Green and Clean dan Bank Sampah. “Warga menyetor sampah rumah tangga di Bank Sampah. Setelah melewati priode tertentu, warga bisa menarik tabungan dalam bentuk dana tunai,” kata Yanti, menjelaskan konsep Bank Sampah. Nah, dari “setoran” sampah itu, setelah melewati proses sortasi, Yanti mendapatkan pasokan bungkus-bungkus plastik bekas dalam jumlah cukup banyak.

Selanjutnya, Yanti akan memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang berdomisili di Pasar Minggu, Jakarta Selatan untuk mencuci bersih, menjahit bungkus plastik menjadi satu lembaran besar, membuat desain dan pola, sampai menjahitnya menjadi produk-produk cantik. Di antaranya dompet, payung, tas, atau sepatu cantik. “Ibu-ibu mendapatkan bayaran berdasarkan tiap item yang mereka buat,” jelas Yanti. Hanya saja, karena sudah banyak entrepreneur yang menggarap bisnis serupa, omzet Yanti sempat turun. Dari sebelumnya mencapai Rp10 jutaan per bulan, kini berada di kisaran Rp6 jutaan per bulan.

Tak bisa dimungkiri, untuk memasarkan produk daur ulang, ecopreneur harus ekstra kreatif. Bila Slamet dan Yanti sering mendapatkan pesanan dalam jumlah besar dari korporat, maka P. Fabiawan memilih untuk memasarkan produk Gerai Green via online. Akan tetapi, tak ada yang menyaingi strategi pemasaran “out of the box” ala Erni Suhaina Ilham Fadzry saat memperkenalkan produk daur ulang besutan lembaga kursus milik suaminya, LKP Bu Nandang.

Selama ini, lembaga kursus dan pelatihan milik Nandang Sukmana, suami Erni, memanfaatkan limbah non bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk dijadikan kerajinan. Sejak beberapa tahun silam, mereka memproduksi dan memasarkan produk daur ulang ke toko-toko sovenir atau berharap rezeki saat pameran. Namun, Erni menginginkan lebih. Agar produk LKP Bu Nandang yang dikelolanya lebih dikenal, Erni menggagas pesta pernikahan salah satu anggotanya dengan tema Limbah Non B3.

Semua yang berkaitan dengan hajatan itu, seperti undangan, dekorasi, sovenir, hingga gaun pengantin terbuat dari daur ulang sampah. Untuk gaun pengantin, Erni membuatnya dari tas kresek yang digulung kecil dan dijahit pada kain pola (dasaran) yang terbuat dari kain spanduk bekas. Dari kejauhan, gulungan plastik itu mirip kuntum mawar. Sedangkan untuk tiara yang dipasangkan di rambut pengantin, Erni membuatnya dari kabel.

Dan, seperti perkiraannya, banyak tamu yang tertarik membeli gaun pengantin itu. Apalagi pernikahan dengan tema Limbah Non B3 diliput oleh banyak media cetak dan televisi. Perempuan yang tengah melanjutkan S1 jurusan Bahasa Inggris di Universitas Widhya Dharma, Klaten ini lalu memberikan kartu nama dan brosur lembaga pendidikan miliknya. “Sekarang LKP Bu Nandang kebanjiran order pembuatan undangan, sovenir, dan pakaian dari limbah plastik,” kata Erni, bahagia. Tak cuma itu, Erni kini memiliki bisnis event organizer (EO) setelah hajatan pernikahan dengan tema Limbah Non B3 mendapatkan banyak respon positif dari masyarakat.

Lebih lanjut Yoris mengatakan bahwa selama isu lingkungan hidup dan kampanye gaya hidup ramah lingkungan masih ada, maka prospek bisnis ecopreneur masih menjanjikan. “Sekarang, tinggal pintar-pintarnya si entrepreneur mendapatkan pasokan bahan baku dan memasarkan produk,” tegas Yoris. Jadi, siapkah Anda menjadi miliarder dari sampah? $ ARI WINDYANINGRUM, AGUSTAMAN, JOHANA NOVIANTI H., ALDY FAUZAL, RAHMA UTAMI

Tips Sukses Mengais Rupiah dari Sampah

  1. Amati sampah yang ada di sekitar, pilih beberapa bahan menjadi bahan baku.
  2. Pastikan Anda memanfaatkan limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
  3. Bereksperimen dengan sampah/limbah yang akan dipakai sebagai bahan baku. Ciptakan produk se-kreatif mungkin.
  4. Pastikan Anda mendapat pasokan bahan baku (sampah/limbah) secara kontinyu.
  5. Berdayakan masyarakat sekitar untuk mengolah sampah/limbah menjadi produk kreatif.
  6. Jalin kerjasama dengan banyak pihak, terutama perusahaan besar untuk mendapatkan pasokan bahan baku atau bahkan pemasaran produk.
  7. Pilih saluran pemasaran yang pas untuk produk daur ulang Anda, misalnya lewat pameran, toko sovenir, bekerja sama dengan toko-toko besar, atau penjualan online.
  8. Jangan berhenti bekreasi, temukan desain-desain baru agar berbeda dengan kompetitor.

Peluang Bisnis dari Sampah

  1. Mengelola sampah kawasan dan mengubahnya menjadi biomassa
  2. Mendaur ulang bungkus plastik menjadi produk fashion (tas, dompet, payung, dsb)
  3. Mendaur ulang tube pasta gigi menjadi tas, sajadah, dsb
  4. Mendaur ulang tas kresek bekas menjadi gaun pengantin
  5. Mendaur ulang botol kaca menjadi pajangan
  6. Mendaur ulang filter oli bekas menjadi lampu pajangan (art lighting)
  7. Mendaur ulang kayu bekas menjadi furnitur
  8. Mendaur ulang minyak bekas (jlantah) menjadi sabun, e-fuel (minyak pengganti lilin), dan lotion anti nyamuk
  9. Mendaur ulang ban mobil bekas menjadi sandal
  10. Mendaur ulang limbah cair tapioka menjadi nata de cassava

Lama Hancur Terurai

Kantong plastik 10 – 12 tahun
Gelas sekali pakai > 20 tahun
Styrofoam > 500 tahun

Kapasitas Produksi Sampah Orang Indonesia

1 Orang 0,8 kg per hari
Seluruh Warga Jakarta 6.000 ton per hari
Seluruh Warga Indonesia 176.000 ton per hari

(As published on Majalah DUIT! ed 04/April 2011)

 
3 Comments

Posted by on May 29, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: , , , , , , , , , , , , ,

VUP: Very Unimportant People

Setiap pukul 23.00, saya selalu melihat sepasang suami istri mengais bak sampah di tempat saya tinggal. Mereka melakukannya secara cepat. Tak lebih dari tiga menit dan tanpa banyak bersuara. Setelah saya perhatikan, pasangan yang usianya sekitar 60 tahunan ini hanya mengambil botol plastik bekas air mineral kemasan.

Mereka melakukan pekerjaan itu setiap hari. Bahkan, ketika malam pergantian tahun, saat orang-orang sibuk berpesta kembang api, saya tetap dapat menemukan keduanya mengais tempat sampah. Tak ada seragam khusus yang dikenakan. Si ibu kerap mengenakan daster kumal, sedangkan si bapak selalu memakai peci buluk berwarna coklat serta memanggul karung. Mereka tak melengkapi diri dengan sarung tangan atau besi berpengait. Dengan bertelanjang tangan, mereka mengambil sesuatu yang mereka anggap berharga dari tempat yang selama ini tak pernah kita anggap berharga.

Rupanya, penjaga kos sudah berbagi rejeki dengan pasangan yang jarang tersenyum itu. Sebab, satu-dua jam kemudian, ‘petugas kebersihan resmi’ akan mengangkut sampah itu untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir, yang entah di mana tempatnya. Di pagi hari, seluruh tempat sampah sudah kosong dan lantai selasar sudah bersih. Para penghuni tak perlu repot menyapu dan mengepel lantai sebelum beraktivitas.

Seringkali, manusia silau dengan atribut dan jabatan. Kita akan membungkuk hormat tatkala bertemu orang-orang yang lebih berkuasa, entah karena kekuasaan atau kekayaan. They are Very Important People (VIP). Sebaliknya, kita tak pernah menyadari kehadiran orang-orang yang terpaksa menjalani pekerjaan kotor (dalam arti sebenarnya) untuk menyambung hidup, seperti para pemulung dan petugas kebersihan itu. Mereka tergolong dalam Very Unimportant People (VUP), kebalikan dari status yang selalu didamba setiap manusia.

Para VUP ini tak pernah merasakan privilege dalam hidupnya. Kecuali pada saat pembagian zakat, nama mereka akan bertengger di posisi paling atas. Selebihnya, jarang ada yang menganggap mereka penting. Bahkan, mereka sering dianggap tak ada. Angin lalu saja.

Kendati ‘aturan kasta’ menaruh VVUP dan VUP di posisi paling bawah, disadari atau tidak, kita selalu membutuhkan bantuan mereka. Bahkan, pada suatu masa, kita akan mengalami sebuah kondisi ketergantungan. Mereka yang sepertinya nggak penting ini akan menjadi penting terutama di saat-saat genting.

Jangan mengharapkan lingkungan yang bersih jika tak ada pemulung, tukang sampah, tukang sapu jalan, atau mas/mbak cleaning service. Jujur saja, kita akan cenderung bereaksi negatif saat sisa sampah masih berceceran dan tak segera dibersihkan. Tapi, kita jarang bereaksi positif ketika melihat mereka bekerja, entah itu mengucap terima kasih atau sekadar tersenyum. Alasannya, it’s their job.

Sebuah bangunan megah tidak akan bisa berdiri jika dalam satu tim hanya ada mandor. Harus ada kuli dan pemodal. Kalau mau daftarnya diperpanjang, bisa saja kita menambahkan posisi tukang insinyur, mbak kasir, engkong pemilik toko bangunan, sampai ibu pemilik warteg yang bersedia menerima utangan para kuli.

Seluruh manusia di muka bumi memiliki peran masing-masing. Tak peduli mereka kaum VIP, VUP, atau kelas tribun (baca: ordinary people yang tidak termasuk golongan VIP dan VUP). Semua saling membantu, membutuhkan, dan menguntungkan. Meski terlihat acak, sebenarnya seluruh peran di dunia ini saling berkaitan satu sama lain.

Semesta disusun secara seimbang. Jika tak seimbang, maka kacaulah tatanan kehidupan ini. Adalah tugas kita untuk menyeimbangkan dunia. Ini bukan masalah penting atau tidak penting, peran besar atau peran kecil, orang besar atau orang kecil, semua memiliki peran masing-masing untuk membantu menyeimbangkan dunia.

 It is not how much you do, but how much love you put into the doing that matters. (Mother Theresa)

 
Leave a comment

Posted by on May 29, 2012 in Random Thought

 

Tags:

Hospital meals less healthy than Big Macs: Study

A Big Mac burger is healthier than 75 percent of NHS hospital meals, a recent study conducted in the UK has revealed.

The study examined twenty five different meals provided by an NHS food supply chain to find that sixty percent of hospital food contained more salt than the popular McDonald’s burger. Seventy five percent had more saturated fat.

The survey was carried out by Sustain, a campaign group demanding that the government bring compulsory minimum food standards into the NHS. “Without standards, many meals will remain unhealthy and unappetizing,” said Alex Jackson, a Sustain member. “It’s staggering to think sick patients could be better off eating at McDonald’s.” The study comes after a bill on transforming hospital food was discussed in parliament for the first time earlier this week.

One case in the study showed that a bowl of curry contained six times more fat than a KFC zinger burger set menu, while another pasta meal served at the hospital contained saturated fat three times the daily recommended amount for an average person. The study showed that forty percent of the meals contained more saturated fat than a nine inch pepperoni pizza.

 

By: Sim Guk-by, Asia News Network (The Korea Herald), May 21th, 2012

 
Leave a comment

Posted by on May 25, 2012 in Dunia Dalam Berita

 

Tags: , ,

Guru yang Tidak Bijaksana

Beberapa waktu lalu, saya sempat mengirimkan pesan ke seorang sahabat. Saya bertanya, “Apakah salah jika saya merasa lelah dan pasrah pada segala kemungkinan yang terjadi?” Waktu itu, sistem pertahanan mental saya memang berada di titik nadir. Saya merasa begitu putus asa dengan segala kondisi, yang menurut saya tidak seharusnya seperti itu.

Dalam pesan jawabannya, sahabat saya mengirimkan kalimat yang harus dicerna dengan saksama untuk memahami maksudnya. “Kau tidak pasrah. Kau hanya membutuhkan waktu untuk menjernihkan hati agar bisa lebih jelas dalam mendengarkan pesan Semesta.” Dan, tangis saya pun pecah.

Pasrah dan menyerahkan segalanya ke tangan Sang Pencipta adalah dua hal yang berbeda. Pasrah adalah suatu kondisi di mana kita tidak melakukan apapun. Sementara menyerahkan segalanya padaNya berarti kita telah berusaha dan dibarengi doa. Do our best and let God do the rest.

Namun, jika dalam perjalanan ternyata ada pihak-pihak yang membuat kita sedih dan marah karena sudah menjegal langkah, merampas hak, menghapus pengharapan, atau tidak menghargai segala daya upaya kita, anggap saja mereka adalah guru, bukan karena kebijaksanaannya. Tapi, berkat ketidakbijaksanaan itu, mereka telah mengajari kita untuk menjadi lebih bijaksana.

 
2 Comments

Posted by on May 25, 2012 in Random Thought

 

Tags:

Menghapus Akun Mereka yang Telah Pergi

Di era digital seperti sekarang ini, mencari orang yang tak punya akun social media maupun akun e-mail ibarat mencari kutu di rambut perempuan yang hobi nyalon. Nyaris tak ada. Kedua akun itu seperti alamat maya seseorang. Kendati si empunya akun sedang melanglang buana, ia tetap bisa dihubungi. Tapi, bagaimana jika si pemilik akun pergi menghadap Sang Pemilik Kehidupan?

Apapun yang kita tuliskan di akun social media menjadi jejak-jejak digital (digital footprints) milik kita. Sebenarnya, selama apapun, jejak itu masih tetap diikuti. Namun, pernahkan Anda berpikir apa yang terjadi pada jejak dan aset digital pada saat kita meninggal nanti?

Bisa jadi friend atau follower atau orang-orang yang menyimpan alamat e-mail mereka yang tiada, tak langsung menghapus nama yang bersangkutan dari daftar kontak. Bahkan, kadang, kita sendiri nggak ngeh mengenai status kematian mereka yang ada dalam daftar kontak.

Beberapa tahun lalu, saya sempat mencoba menelepon seorang narasumber. Dihubungi berkali-kali via telepon genggamnya, tak diangkat. Di-SMS, tak membalas, begitu juga saat saya mengirim e-mail dan message di akun social media-nya. Sungguh aneh, padahal si bapak ini tipe-tipe orang yang mudah dihubungi media. Hingga kemudian seorang kawan mencoba menelepon si bapak, untuk keperluan berita berbeda.

Di ujung telepon, kawan saya ini mendengar suara perempuan muda. Nah lo! Dengan suara tercekat, si perempuan di ujung telepon ini mengaku bahwa ia putri dari sang narasumber. “Bapak sudah meninggal dua bulan lalu, mbak,” katanya, seraya meminta kawan saya untuk menghapus nama ayahnya di daftar kontak narasumber dan mengabarkan kepada rekan-rekan jurnalis lainnya.

Putri narasumber kami ini mengaku tak mengetahui password akun social media dan e-mail ayahnya. Sehingga tak bisa membalas e-mail atau mengunggah status (tentu saja dengan perkenalan terlebih dahulu) yang mengabarkan mangkatnya sang ayah.

Saya mendadak teringat pengalaman mengirimkan e-mail kepada orang yang sudah tiada gara-gara membaca femina, di akhir pekan lalu. Salah satu artikelnya menulis mengenai nasib akun yang tak lagi bertuan, karena si empunya akun sudah tiada. Selain mengupas mengenai cara menghapus akun, saya juga baru menyadari bahwa Facebook menyediakan fitur khusus bagi mereka yang telah tiada.

Bila kita (yang masih hidup) memiliki pilihan laman profile dan fan page, pihak Facebook menyediakan laman khusus bernama Memorial Page bagi mantan user situs jejaring sejuta umat ini. Laman Memorial ini tak bisa diakses begitu saja melalui log in, tidak memiliki fasilitas status up date, dan contact information. Jelas saja. Sudah pasti bakalan horor kalau tiba-tiba muncul status yang bunyinya, “Surga Pinggiran cuacanya panas, cyn. AC-nya mati…”

Di beberapa negara bagian AS sudah memberlakukan regulasi untuk menutup akun social media yang pemiliknya sudah meninggal dunia. Tak hanya itu, password mereka yang sudah meninggal diperlakukan sebagai ‘aset digital’ yang tidak bisa sembarangan digunakan. Bahkan, oleh anggota keluarganya sendiri. Sayangnya, di Indonesia belum ada aturan seperti itu.

Lantas, bagaimana cara untuk menutup akun almarhum? Cara paling mudah adalah jika pihak keluarga mengetahui password yang bersangkutan. Opsi kedua, pihak keluarga mengirimkan surat pemberitahuan ke kantor pusat social media yang bersangkutan, lengkap dengan dokumen pendukung, seperti fotokopi kartu identitas dan surat kematian.

Biasanya, daftar dokumen dan alamat pengiriman dokumen dapat ditemukan di laman help atau support social media. Tapi pada dasarnya, keluarga yang mengirim surat hanya bisa menutup atau menghapus akun tersebut. Mereka tidak bisa mengedit atau mengubah konten akun (baca: jejak digital) yang sudah ada.

Berikut daftar tautan untuk menutup akun tak bertuan:
Facebook : http://www.facebook.com/help/contact.php?show_form=deceased
Twitter : http://support.twitter.com → pilih bagian Report A Violation – Policy Information – How to Contact Twitter About A Deceased User.
YouTube : http://support.google.com/youtube/bin/request.py?&contact_type=momentdeath
Gmail : http://support.google.com/mail/bin/answer.py?hl=en&answer=14300#0

 
Leave a comment

Posted by on May 24, 2012 in How to..

 

Tags: , , , , ,

Barcode Everyone at Birth

This week science fiction writer Elizabeth Moon argues that everyone should be given a barcode at birth.

“If I were empress of the Universe I would insist on every individual having a unique ID permanently attached – a barcode if you will; an implanted chip to provide an easy, fast inexpensive way to identify individuals. It would be imprinted on everyone at birth. Point the scanner at someone and there it is.

Having such a unique barcode would have many advantages. In war soldiers could easily differentiate legitimate targets in a population from non combatants. This could prevent mistakes in identity, mistakes that result in the deaths of innocent bystanders.

Weapons systems would record the code of the use, identifying how fired which shot and leading to more accountability in the field. Anonymity would be impossible as would mistaken identity making it easier to place responsibility accurately, not only in war but also in non-combat situations far from the war.”

(as published on bbc.co.uk , may 22th 2012)

 
Leave a comment

Posted by on May 23, 2012 in Dunia Dalam Berita

 

Tags: , ,

Kuliers yang Menyebalkan

Baiklah, kita sekarang belajar vocabulary dalam kamus slang Penumpang Setia Kereta Api Indonesia. Roker merupakan singkatan dari rombongan kereta, yang berarti orang-orang yang setiap hari menggunakan jasa transportasi masal tersebut. Kuli adalah kursi lipat. Sedangkan Kulier adalah orang-orang yang duduk di kursi lipat (kuli).

Sebenarnya, tak ada salahnya memiliki kuli. Saya sendiri punya satu kuli berwarna biru. Bagi para roker, ada anekdot memiliki kuli berarti mereka sudah ‘sah’ menjadi komunitas roker. Saya sendiri bingung logikanya bagaimana, tapi mungkin saja memiliki kuli berarti seorang anggota roker bisa tetap duduk meski tak mendapatkan kursi di dalam kereta.

Setidaknya, di pasar tersedia dua jenis kuli, yakni yang berbahan dasar besi dan plastik. Keduanya sama-sama ringan dan mudah dimasukkan ke dalam tas. Untuk kuli dari besi, misalnya, setelah dilipat besarnya tak lebih besar dari majalah Intisari. Soal harga, rata-rata Rp25.000 per buah. Kondisi lebih mahal atau lebih murah barang itu tergantung kemampuan menawar saja.

Sebenarnya, pihak PT KAI Jabodetabek melarang penggunaan kuli. Seperti yang terpampang di poster yang banyak ditempel di dinding gerbong, terutama kereta kelas AC. Penumpang tak boleh duduk di lantai dan di kuli, selain itu ada juga larangan membawa senjata tajam dan senjata api serta bahan yang mudah terbakar (ya iyya lah..), membawa hewan peliharaan, mencorat-coret gerbong, hingga larangan untuk mengamen.

Di kereta Commuter Line, petugasnya saklek. Ini yang membuat pengamen dan pedagang asongan tak berani memasuki kereta AC. Tapi, tingkat kegarangan para petugas berkurang saat menghadapi kuliers. Para petugas mungkin maklum, daripada capek berdiri lebih baik duduk di kursi yang dibawa sendiri dari rumah.

Kulier yang baik adalah mereka yang tahu situasi. Saat kereta mulai penuh, kursi akan dilipat dan disimpan dalam tas. Saya sering bete kalau menemukan kuliers yang tak tahu diri. Sudah tahu kereta penuh tapi mereka tetap saja duduk santai di atas singgasananya. Padahal, space untuk satu kuli bisa cukup untuk dua penumpang berdiri.

Kalau sudah begini, biasanya, solidaritas penumpang yang berdiri di sekitar kuliers akan tumbuh. Tanpa dikomando, mereka akan dengan sengaja mundur hingga menubruk para kuliers yang duduk di belakangnya atau menggerakkan tas ke arah badan (bahkan malah kepala) para kuliers. Buk! Dan, tanpa dikomando pula, para kuliers akan berdiri dan segera melipat kulinya. Time is up. Stand up.

Tapi, memang, ada satu dua kuliers yang nekat. Entah tak punya hati, tak punya otak, atau tak punya malu, mereka tetap duduk santai (saya tak bisa menyebutnya sebagai nyaman) di kulinya, kendati kereta sudah penuh sesak dan mendapatkan ‘kekerasan’ dari sekelilingnya. Bahkan, kadang, para kuliers bandel ini tak peduli peringatan petugas (sayang, petugas tak punya hak untuk menghukum atau mendenda mereka). Wah, ini mah memang benar-benar kuliers yang menyebalkan.

 
Leave a comment

Posted by on May 23, 2012 in Wheels on the Road

 

Tags: , ,

Mata Kuliah Batik di Sekolah Mode Italia

Jujur, saya tak tahu apakah pengetahuan mengenai kain tradisional sudah masuk kurikulum sekolah mode di Indonesia. Tapi, yang jelas, ketika saya membaca berita di situs berita Antara, saya menemukan artikel menarik. Batik segera masuk kurikulum sekolah mode di Italia. Olala!

Menurut Bianca Lami, direktur Artistik Koefia, sekolah mode tertua di Italia, pihaknya berencana memasukkan pengetahuan kain batik dan desain batik ke dalam kurikulum pelajaran Koefia. Sementara itu Raffaele D’Ambrosio, wakil ketua DPR Italia menyatakan mereka tertarik dengan batik Solo. Baik Lami maupun D’Ambrosio mengetahui Solo sebagai salah pusat batik Indonesia dari internet. “Saya tahu dari internet bahwa Solo merupakan ibukota batik. Di kota itu banyak industri batik. Bahkan, saya dengar ada kampung dengan nama batik. Saya ingin melihatnya secara langsung,” kata Lami.

Lebih lanjut, Lami mengatakan bahwa setelah diakui UNESCO, batik sebagai warisan budaya Indonesia, akan menjadi tren dii dunia fashion di kemudian hari. “Kami ingin mengembangkan fashion heritage. Jika bisa menggabungkan budaya Solo dengan Eropa, lewat selembar kain, saya kira hasilnya akan sangat bagus,” kata dia. Sekolah Mode Koefia berencana membuat program studi Desain Batik dengan durasi pembelajaran tiga tahun.

 
Leave a comment

Posted by on May 22, 2012 in Batik Addict

 

Tags: , ,

Kampung Batik Jakarta

Bicara soal batik, kita pasti mengenal beberapa kampung yang menjadi sentra produksi dan sentra penjualan batik. Seperti Kampung Batik Laweyan di Solo atau Kampung Batik Trusmi di Cirebon. Tapi, ternyata, kini juga ada kampung Batik di Jakarta, tepatnya di Pal Batu, Tebet, Jakarta Selatan.

Adalah empat pecinta batik yang memprakarsai pendirian kampung batik di Ibukota. Mereka adalah Ismoyo W. Bimo, Iwan Darmawan, Budi Haryanto, dan Safri. “Saya yang pertama memiliki ide untuk memulai kampung batik di Jakarta. Setelah berbicara dengan beberapa teman, saya menemukan empat orang yang memiliki ide yang sama,” tutur Ismoyo W. Bimo, seperti dikutip beritasatu.com, awal Mei lalu.

Syahdan, pada 2010, keempatnya bertemu dan membuat rancangan awal kampung batik di Jakarta. Setelah mencari lokasi ke sana ke mari, mereka sepakat Pal Batu adalah lokasi paling tepat. “Daerah ini dekat dengan sentra-sentra batik Jakarta di jaman dulum seperti Tanah Abang, Bendungan Hilir, Thamrin, Palmerah, dan sekitarnya,” terang Bimo. Belum lagi, jelas dia, di kawasan itu tak banyak industri yang tumbuh dan masyarakatnya komunal.

Ia mengaku mengambil inspirasi dari kampung-kampung batik yang sudah ada. Hanya saja, kampung batik di Jakarta memiliki tantangan lebih besar, mengingat sentra batik di Pal Batu ini bukan berdasar dari perajin. Itu sebabnya, Bimo, yang dianggap memiliki jaringan dengan perajin batik di seluruh Nusantara, diberi tugas untuk mengkoordinir perajin dari daerah untuk berbagi pelajaran dengan komunitas Kampoeng Batik di Jakarta.

“Sebenarnya ini berdasar kecintaan kami terhadap batik. Kami ingin melestarikan batik. Sejak lama saya, yang kolektor batik, mencari tahu tentang batik. Lalu dari sana saya menemukan, Jakarta memiliki batiknya sendiri, dengan ciri khas tumpal dan motif ondel-ondel, monas, dan lainnya,” ujar Bimo, yang mengaku tergabung dalam komunitas Batik Banget. Kini, Kampoeng Batik telah memiliki tujuh gerai penjual batik. Tentu saja, ke depan, akan makin banyak pedagang batik Betawi di kawasan ini.

Sejak tahun lalu, Kampoeng Batik menyelenggarakan acara bertajuk Jakarta Batik Carnival, sebuah kegiatan untuk mengeksplorasi potensi batik menjadi suatu tampilan menarik. Kegiatan yang digelar dua hari ini dirancang dengan event karnaval massal. Bimo berharap Kampoeng Batik bisa menjadi sentra pengrajin batik Betawi dan menjadi destinasi alternatif wisata belanja batik.

 
Leave a comment

Posted by on May 22, 2012 in Batik Addict

 

Tags: , ,