Dulu, pas saya masih SD, saya bela-belain bolos ketika SCTV mengudara untuk pertama kalinya. Rasanya bangga banget bisa nonton tipi yang ada iklannya (dilarang bilang “Wow!”). Tayangannya gak sekadar acara lomba pukul kentongan ala Klompencapir, nonton orang gebuk-gebukan di acara Dari Gelanggang ke Gelanggang, Laporan Khusus yang sesuai petunjuk bapak Presiden, atau nonton Unyil, siswa SD yang terlalu budiman.
Di tipi beriklan itu banyak serial komedi dengan bahasa “modern”. Bagaimana tidak? Satu dasawarsa pertama dalam hidup, saya habiskan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang cukup baik dan benar plus bahasa Jawa dengan beragam dialek, menjadi terbuka matanya bahwa ada bahasa gaul di luar sana. Jujur, sebagai orang daerah, saya sempat terpukau ketika tante Debby Sahertian ngomong lu lu gue gue dengan tambahan deh.
Bahasa gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta di era 1980an, menggantikan bahasa prokem yang digunakan di era sebelumnya. Bahasa gaul adalah dialek nonformal yang berupa slang yang digunakan kalangan tertentu, bersifat sementara (alhamdulillah, kuping udah iritasi tiap denger ciyus miapah), dan hanya merupakan variasi bahasa. Penggunaannya meliputi kosakata, ungkapan, singkatan, intonasi, pelafalan, pola, konteks, dan distribusi.
Kalau menurut ilmu linguistik, sintaksis dan morfologi ragam ini memanfaatkan sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia dan dialek Betawi. Kosakata bahasa gaul diambil dari kosakata yang hidup di lingkungan kelompok remaja (let’s say ABG) tertentu. Pembentukan kata dan maknanya amat beragam dan tergantung kreativitas pemakainya.
Dalam perkembangannya, bahasa gaul bisa dikenali per dasawarsa. Hanya saja, belakangan ini bahasa gaul perkembangannya lebih cepat, bisa dalam hitungan bulan. Lihat saja bagaimana aliran cadelisme ala ciyus miapah sukses menggantikan 64Ha5a 4L4y dengan angka dan huruf kapital-kecil tak beraturan. Bisa jadi ini menandakan anak jaman sekarang lebih kreatif. #eh. Satu hal yang pasti bahasa gaul tercipta karena ABG (di tiap masa) ingin menyatakan diri sebagai anggota masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat lainnya. Ingin tampil beda dengan bahasa beda dengan generasi lebih tua.
Bagi penikmat blog naningisme yang tak punya waktu untuk memperhatikan perkembangan bahasa, yuk mari kita petakan perkembangan bahasa gaul dari masa ke masa. *iseng banget gak sih?*
Era 1970an.
Zaman bahasa Prokem.
Berdasarkan sejarahnya, bahasa ini adalah bahasa sandi yang digunakan oleh anak jalanan atau para preman untuk menghindari kejaran aparat kepolisian. Pembentukan kata “prokem” pun ada rumusnya, yakni kata “preman” dengan sisipan OK dan dua fonem dihilangkan. Gak percaya, neeh rumusnye: pr + OK + em – an = prokem. Mantep kan? Bagi yang pernah mengalami masa ini saya ingin menyampaikan, “Sadarlah, wahai sahabat, kalian udah tua. Udah gak jamannya lagi kalian bikin masalah atau lama-lama berkeliaran di jalanan. Ntar masuk angin” hehehehehe.. #sikap
Era 1980an
Masa Keemasan mas Boy dan Sepatu Roda (dilarang protes judul!)
Kalau dilihat dari sejarah pembentukannya, bahasa gaul di masa ini banyak dipengaruhi oleh film layar lebar macam Catatan Si Boy, Warkop DKI, atau novel Lupus, serta Olga dan Sepatu Roda. ABG di masa itu bisa dibilang kreatif menciptakan bahasa-bahasa ajaib yang wangsitnya seakan-akan turun dari langit, meski beberapa masih terinfeksi rumus +OK peninggalan jaman prokem. Lihat saja daftarnya:
ajojing = dansa
bokin = bini, pacar
bokis = bohong
bo’il = mobil
bokap = bapak
doku = duit
doi, doski = dia
gokil = gila
nyimeng = mengganja
nyokap = ibu
pembokat = pembantu
roke = miskin
Bagi mereka yang pernah hidup dan menikmati bahasa gaul di era ini, saya ingin berpesan, “Kalian dulu udah pernah nyiptain bahasa ajaib. Jadi jangan protes ama ABG jaman sekarang yang juga ajaib! Kalian dulu gak nyadar apa emak-bapak kalian pada pusing dengerin kalian ngobrol ama kawan-kawan lu pada?”
Era 1990an
Terlena masa lalu.
Entah mengapa tak ada bahasa gaul yang menonjol di era 1990an ini. Mungkin karena ABG-nya pada berbudi luhur semua kali ya? #pencitraan. Beberapa masih menggunakan bahasa gaul yang digunakan di era sebelumnya. Kalau pun ada hanya sekedar tambahan sepotong kata yang ditempelkan di belakang kalimat, seperti dong, deh, nih ye, lah yauw, dan sebagainya. Bagi mereka yang mengalami masa ABG di era ini saya ingin mengatakan, “Selamat, kita seumuran hehehehe…”
Era 2000an
Saatnya Ngondek.
Di era ini bahasa gaul banyak dipengaruhi kosakata pegawai salon yang sebenarnya pria tapi keperempuan-perempuanan. Beberapa kosakata diambil dari bahasa daerah, tak hanya Betawi, tapi juga Jawa dan Sunda. Mungkin ini saatnya mereka yang minoritas menguasai mayoritas. Sampai sekarang beberapa kosakata masih dipakai. Beberapa kata di antaranya:
akika = aku
brondong = laki-laki muda tampan
brownies = brondong manis
garing = mencoba melucu tapi tak lucu (dari bahasa Jawa, Sunda)
jayus = gak lucu
jomblo = lajang/tidak punya kekasih (dari bahasa Sunda)
jutek = jarang senyum, judes
lebay = belebihan
lekong = laki
meneketehe = mana kutahu
rempong = rumpi, repot
segede gaban = gede banget
segambreng = banyak banget
sutralah = sudahlah
Era 2010an
Gaul Beud
Kalau di era-era sebelumnya, perubahan bahasa gaul bisa terjadi tiap lima sepuluh tahun sekali, di era ini perubahan bisa terjadi dalam hitungan bulan. Cepet beud (beud = banget). Perubahan yang sungguh cepat ini banyak dipengaruhi faktor teknologi. Di awal periode 2010 bahasa gaul tercipta demi menghemat pulsa SMS. Walhasil kata “aku” bisa hanya menjadi “q” atau “t4” untuk menggantikan “tempat”.
Kemudian ketika SMS tak lagi mewabah, karena udah tergantikan oleh BBM atau media yang lain, bahasa gaul tercipta murni karena kreativitas penciptanya saja. Mulai dari penggunaan angka untuk menggantikan huruf, seperti angka 4 untuk menggantikan huruf a, juga karena “perjanjian tak resmi” di antara pemakainya. Hingga yang paling mutakhir adalah aliran ciyus miapah – yang sebenarnya amat membuat kuping gatel dan membuat saya pengen nabok pencetusnya