Setelah gagal mengikuti Kontes Rancangan Bisnis di kampus, Will Dean mengajak sahabat untuk mewujudkan mimpi. Hanya berbekal proposal yang pernah ditolak dan dana Rp73 juta, mereka merintis Tough Mudder. Dalam dua tahun, omzet perusahaan mencapai Rp225 miliar. Semua berkat social media.
William Dean adalah mahasiswa program MBA Harvard Business School yang aktif dan kreatif. Pada 2009, dengan penuh percaya diri, Will mendaftarkan diri untuk mengikuti Kontes Menyusun Rancangan Bisnis (Business Plan Contest) yang secara rutin diadakan kampusnya. Ia menyodorkan proposal bisnis mengenai pertandingan musim semi yang akan diikuti oleh 500 peserta, yang berasal dari masyarakat umum. Secara detil, ia menyusun anggaran kegiatan, marketing, dan rencana sponsorship.
Alih-alih mendapatkan dukungan dari pihak universitas, profesor pembimbingnya justru mematahkan rencana Will. “Business plan ini terlalu optimistis. Anda tidak mungkin mampu mengumpulkan sedemikian banyak orang dalam waktu singkat, apalagi untuk berpartisipasi dalam kegiatan semacam ini,” kata Will, menirukan penuturan professor David Godes, dosen pembimbingnya.
Tak patah arang, Will menggandeng sahabatnya semasa bersekolah di Oundle School in Northamptonshire, Guy Livingstone, seorang mantan pengacara, untuk melanjutkan rencana bisnisnya. Kali ini, mereka merujuk pada sebuah organisasi di Eropa yang sukses menggelar kegiatan serupa selama lima tahun berturut-turut.
Bila organisasi di Eropa itu mengajukan anggaran US$5 juta (setara sekitar Rp36 miliar) per tahun, Will dan Guy hanya mengajukan anggaran tak lebih dari US$8.200 (sekitar Rp73 juta) untuk rentang waktu yang sama. “Profesor hanya geleng-geleng kepala melihat kenekatan saya. Tapi, saya menjadi terpacu untuk mewujudkan rencana bisnis ini,” ungkap Will, seperti dikutip New York Times.
Menyadari hanya memiliki dana terbatas, keduanya amat menggantungkan diri pada social media untuk mencari peserta dan melakukan kegiatan marketing lainnya. Di tahun yang sama, sesaat setelah proposal bisnisnya ditolak Harvard, Will dan Guy bersikukuh mendirikan Tough Mudder, sebuah organisasi bisnis yang menggagas kegiatan olah raga di luar ruang, terutama yang berkaitan lumpur.
Sebenarnya, apa sih rancangan bisnis Tough Mudder yang ditolak mentah-mentah oleh profesor Harvard? Dean, yang pernah bekerja sebagai Counter Terrorism Officer untuk pemerintah Inggris ini, menerangkan bahwa perusahaannya menawarkan jalur lari sepanjang 16-32 kilometer, namun bukan jalur lurus melainkan dengan beragam rintangan. Seperti kubangan lumpur, kolam berisi es batu, hingga rintangan berupa lilitan kabel bervoltase 10.000 volt! “Saya melihat lomba lari maraton atau triatlon terlalu membosankan dan sedikit antisosial, karena tiap peserta ingin menjadi yang terdepan. Di Tough Mudder, peserta boleh saling membantu ketika menghadapi rintangan mahasulit,” kata Will.
Kegiatan lari rintangan ini hanya digelar di akhir pekan. Pada Sabtu dan Minggu, mulai pukul 8.00 pagi, gelombang pelari akan diberangkatkan setiap 20 menit. Namun, sebelum mereka melakukan start, pihak Tough Mudder akan menekankan mengenai teamwork dan aturan lomba, termasuk meninggalkan lumpur dan sampah di lokasi finish.
Di area finish, pihak Tough Mudder menggandeng entrepreneur lokal untuk mengisi bazar, seperti booth yang menyediakan makanan, minuman, baju, hingga rajah tato. Dari sini terlihat bahwa perusahaan mendapatkan pemasukan dari biaya pendaftaran peserta, tiket masuk bagi masyarakat atau keluarga yang tidak mengikuti lari rintangan, serta biaya pendaftaran dan fee dari bazar.
Menggelembung Berkat Social Media
Singkat cerita, dengan anggaran yang terbatas itu, Tough Mudder mulai membangun rintangan. Untuk biaya pemasaran, di tahap awal, mereka hanya menganggarkan US$20 (Rp180.000) untuk memasang iklan di Facebook, selain aktif berkicau di Twitter, mengunggah video di YouTube, atau memperbarui data kegiatan di LinkedIn, Google+ , dan blog.
Kedigdayaan social media untuk mempromosikan kegiatan Tough Mudder memang luar biasa. Kegiatan pertama Tough Mudder dihelat pada Mei 2010, di resor ski Bear Creek, dekat Allentown, Pennsylvania, AS. Bila di atas kertas Will menargetkan akan ada 500 peserta, ternyata di Hari H ada 4.500 peserta yang datang. “Ini benar-benar di luar perkiraan kami,” cetus Will, bungah. Di tahun yang sama, mereka juga menggelarnya di Northern California dan New Jersey.
Pada 2011, mereka menggelar kegiatan di Texas, Georgia, Pennsylvania, Vermont, Southern California, Colorado, Wisconsin, Northern California, Texas, Virginia, New Jersey, Indiana, dan Florida. Tahun ini, Tough Mudder menjadwalkan akan menggelar 35 kegiatan di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Inggris. “Tahun depan kami akan menggelar sekitar 60 kegiatan di seluruh dunia,” tegas Will, sembari menyebutkan beberapa negara Eropa, Jepang, Selandia Baru, dan Afrika Selatan sebagai calon tuan rumah, pada 2013.
Untuk mengikuti kegiatan selama dua hari penuh itu, tiap peserta harus membayar biaya pendaftaran antara US$90 (Rp810.000) hingga US$155 (Rp1,4 juta). Padahal, jumlah peserta terus membeludak. Kini di tiap venue, ada sekitar 15.000 hingga 20.000 peserta yang berpartisipasi.
Menurut catatan perusahaan, mereka mendapatkan omzet lebih dari US$2 juta (Rp18 miliar) di tahun pertama penyelenggaraan dan berlipat menjadi US$25 juta (Rp225 miliar) di tahun kedua. Sayangnya, Tough Mudder belum merilis pendapatan mereka di tahun ini.
Tentu saja, karena kegiatan membesar, otomatis Will dan Guy membutuhkan lebih banyak karyawan. Bila sebelumnya mereka hanya mempekerjakan 45 orang, kini ada 4.000 lamaran yang masuk, termasuk untuk posisi pengelola akun social media. Maklum, di Facebook mereka memiliki sekitar 2,2 fans dan 52.667 follower di Twitter.
Dalam salah satu artikelnya, Forbes menyebutkan Tough Mudder berhasil meningkatkan popularitas melalui social media, selain aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Dengan anggaran pemasaran yang terbatas, perusahaan mampu mencapai kesuksesan. Dalam Social Media Marketing Industry Report 2012, menunjukkan bahwa social media mampu mendongkrak popularitas perusahaan dan produk/jasa yang ditawarkannya, ini berarti social media berhak dimasukkan dalam komponen bauran pemasaran (marketing mix).
Dari laporan survei tersebut diketahui bahwa mayoritas reponden, yakni para entrepreneur atau eksekutif yang aktif mengakses social media, mengakui bahwa dengan menggunakan social media marketing akan ada peningkatan pengetahuan masyarakat akan perusahaan/produk mereka, peningkatan traffic, peningkatan loyalitas merek, dan peningkatan peringkat pencarian di internet. Menurut laporan tersebut, perusahaan yang mengintegrasikan social media dalam bauran pemasaran, paling tidak dalam tiga tahun, mampu meningkatkan penjualan hingga 58%.
Tentu saja, Tough Mudder memiliki strategi cerdas dalam melakukannya, tak hanya asal mengunggah video atau berkicau di dunia maya. Tim kreatif dan social media di bawah kepemimpinan Will dan Guy berhasil membangun citra perusahaan dengan baik. “Tak diragukan lagi, social media telah mengubah cara berbisnis dan memperkenalkan produk kami kepada masyarakat,” tegas Will. $$$ ARI WINDYANINGRUM
(As published on Majalah DUIT! ed 09/September 2012)