Satu dekade lalu, untuk mendapatkan berita, masyarakat Indonesia masih mengandalkan koran, majalah, televisi, atau radio. Kini, masyarakat mulai beralih ke internet. Adanya koneksi internet di berbagai gadget, mulai laptop, tablet, iPad, hingga telepon selular (ponsel), memungkinkan masyarakat mengakses sumber berita lebih cepat, tanpa harus menunggu koran esok hari atau majalah yang terbit minggu depan, atau siaran TV nanti malam.
Akamai Intelligent Platform menerbitkan State of the Internet Report terbaru. Menurut laporan itu, kini ada 733 juta alamat IPv4 individual dari 243 negara/wilayah. Angka ini memperlihatkan bahwa penetrasi internet global tumbuh 10% per tahun. Dari laporan berbeda terungkap bahwa di Indonesia, sebanyak 13% dari total penduduknya atau sekitar 30 juta orang telah menggunakan internet. Data ini tentu mengubah peta industri media konvensional. Mereka harus mau menyesuaikan diri jika ingin tetap bertahan.
Menurut World Association of Newspaper, ada perbedaan antara media lama dan media baru. Karakteristik media lama adalah kontrol berada di tangan pemilik, iklan disajikan untuk semua orang, ukuran produknya sama, diterbitkan dan didistribusikan sekali, serta penjualan yang fokus pada brand awareness. Sedang karakteristik media baru adalah kendali ada di konsumen, hanya terbit sekali namun didistribusikan berkali-kali, serta fokus penjualan pada preferensi, daya beli, dan retensi.
Selain itu, masyarakat masa kini mengkonsumsi informasi dari berbagai platform. Kalau di media cetak hanya pada jam-jam tertentu, media online—karena kepraktisan dan kecepatan penyajian—menjadi bisa sepanjang waktu. Menurut Survei Digital Kompas pada 2012, di pagi hari antara jam 05.00 hingga 07.00 masyarakat cenderung mengakses berita melalui koran dan televisi. Memasuki jam 10.00 hingga 13.00, masyarakat mengakses informasi melalui televisi atau jejaring sosial (internet) baik melalui gadget PC, laptop, atau ponsel. Sedang malam hari masyarakat mengakses berita melalui televisi.
Dari sisi kedalaman berita, media cetak hanya bisa masuk pada tahap pengembangan, tindak lanjut, dan kesimpulan. Sebab, masyarakat harus menyediakan waktu khusus untuk membaca koran atau majalah. Sedang media online dan televisi bisa diakses secara lebih fleksibel dan lebih cepat. Namun, tak bisa dipungkiri, validitas masih dipegang oleh media konvensional, seperti koran dan majalah.
Dari kacamata bisnis, menurut Bryne Partnership Limited, sejak 2009 hingga 2012 terjadi penurunan porsi iklan di media cetak. Sementara iklan di internet meningkat, walau itu didominasi oleh search engine seperti Google dan Yahoo (70% dari share internet). Sedang data dari World Association of Newspapers and News Publishers (WAN IFRA) 2011, untuk Asia Tenggara menunjukkan bahwa media televisi mendominasi perolehan iklan, diikuti media cetak dan online.
Itulah perubahan yang terjadi di bisnis media sekarang ini. Walau baru memiliki pengalaman satu dasawarsa lebih sedikit di bisnis media, saya merasakan sekali betapa perubahan di bisnis ini begitu cepat. Saya pernah memimpin sebuah media yang harus ambruk gara-gara kami tak siap (atau belum siap) menghadapi segala perubahan ini, terutama dari sisi perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat dan perubahan profil demografi pembaca.
Untuk bisa selamat, para pemimpin media tak bisa lagi hanya berharap keberuntungan oplag penjualan di lapak –apalagi menyombongkan diri karena memiliki sekian reporter siap tempur. Pesaing utama media saat ini adalah citizen journalism. Hanya dengan mengabarkan via jejaring sosial, semua orang tahu. Bahkan, reporter pun kadang mengetahui ada kejadian penting setelah memantau dunia maya.
Profil demografi pembaca yang semakin muda membuat cara pembaca dalam mencari berita pun berubah. Jika dulu mereka masih mau menunggu koran esok pagi, kini tidak lagi. Pembaca ingin mendapatkan informasi lebih cepat (dan tentu saja seharusnya tetap tepat dan akurat!). Bahkan, kalau bisa, berita terbaru dapat mereka ketahui dalam hituangan detik. Di sini, media online, televisi, dan radio jauh lebih unggul ketimbang media berbasis cetak –yang membutuhkan sekian waktu untuk menyelesaikan segala proses produksi.
Perubahan selera konsumen dan adanya media elektronik tentu mengubah wajah industri media. Bagi pelaku media konvensional yang tidak cepat tanggap, mereka akan tergulung dan kehilangan pembacanya (trust me, it’s really happen). Namun, bagi media yang sadar dengan fenomena ini, mereka bisa mengubah ancaman menjadi peluang. So, be prepared!
(a sneak peek of my next book)
“New media is like a megaphone. It amplifies your ability to reach more people.” (Mark Batterson)