Hmm, sejak kasus Dinda yang memberikan komen negatif kepada ibu hamil di Path jadi makin banyak orang perhatian dengan sistem transportasi umum Indonesia. Mudah-mudahan bukan cuma yang jelek yang diekspose, masih banyak kok hal-hal baik yang bisa dirasakan masyarakat dengan adanya KRL Jabodetabek. *sumpah, ini bukan blog berbayar*
Satu poin yang paling penting soal keistimewaan KRL adalah soal kecepatan. Ketika yang lain terkena macet berjam-jam di jalan raya, para roker (rombongan kereta) melaju kencang. Kalo naik KRL, saya cuma butuh waktu sekitar 30 menit dari rumah ke kantor, sementara kalo naik mobil bisa sampe 2,5 jam sodara-sodaraaa…
Bayangkan betapa “saktinya” para roker yang menembus kemacetan Ibukota itu. Tanpa harus memakai kancut merah di luar seperti Superman. Eh, tapi, harus diimbuhi syarat dan ketentuan berlaku. Kondisi tersebut tidak berlaku jika kereta error, entah karena peralatan sinyal kesamber petir, wessel bermasalah, gardu listrik mleduk, ada antrean kereta Jawa, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya. Banyak PR yang harus diperbaiki PT KAI dan KRL Jabodetabek.
Baiklah, kembali ke topik, sekarang kita bicara soal Kursi Prioritas. Dalam rangkaian perjalanan KRL Jabodetabek, Kursi Prioritas terletak di dekat sambungan gerbong (bordes). Deretan kursi itu bisa memuat sekitar enam sampai delapan orang (berhadapan), tergantung jenis kereta. Bila dilihat dari namanya, Kursi Prioritas, berarti peruntukannya hanya untuk mereka yang membutuhkan prioritas, seperti senior citizen (manula), kaum difabel, ibu dengan membawa balita, dan ibu hamil.
Deretan kursi ini memang tidak dikosongkan sejak pemberangkatan pertama. Siapa aja boleh duduk di situ. Mbak dan mas yang masih seger buger boleh kok duduk di situ. Hanya saja, Kursi Prioritas adalah “kursi panas”. Jadi bila di tengah perjalanan ada eyang yang sampun sepuh naik kereta, dan deretan kursi yang lain sudah penuh, maka mereka yang duduk di “kursi panas” itu yang bakal “diprioritaskan” untuk digusur duluan.
Namun, jika di deretan Kursi Prioritas itu sudah penuh (oleh mereka yang memang harus diprioritaskan), ya berarti penumpang yang duduk di kursi reguler harus rela untuk gantian berdiri. Soal gantian duduk (atau gantian berdiri) sebenernya adalah pelajaran mendasar di mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dulu. Soal sopan santun dan budi pekerti.
Saya masih inget bu guru yang selalu mengulang-ulang kalimat bahwa kita harus memberi tempat duduk buat orang tua dan ibu hamil. Tapi, entah kenapa sekarang jadi satu hal yang mengkhawatirkan. Seolah-olah udah langka banget mbak atau mas yang rela berdiri untuk ngasih kursinya ke mereka yang lebih membutuhkan.
Nggak cuma Dinda yang bete dengan bumil yang ujug-ujug minta duduk. Kapan hari sempat beredar foto mas-mas difabel justru duduk di lantai, tepat di depan Kursi Prioritas. Sementara, yang duduk di kursi panas itu adalah mas-mas ganteng yang masih seger buger. Dan, yang barusan tersebar adalah mas-mas yang tidur pulas, sementara di depannya ada ibu-ibu yang berdiri. Masih di deretan Kursi Prioritas juga.
Kalau dibilang lelah, semua pasti lelah. Nggak ada penumpang kereta (apalagi pas jam pulang kantor) yang gak lelah. Apalagi kalo ketambahkan “jackpot” kereta error. Tapi, kesadaran untuk memberikan prioritas bagi mereka yang istimewa kayaknya tetap harus deh. (Mau nambahin kalimat, “Kita kan bangsa berbudaya,” kok rasanya aneh banget ya? Berasa kita udah berubah jadi bangsa barbar yang gak berbudaya). Tak ada salahnya berbuat baik, toh nanti juga kebaikan bakal kembali ke kita. I believe in Karma.
Jujur, kadang kasian aja sama mas-mas di gerbong campur. Mereka sampe harus nyumpel kuping pake earphone dan pura-pura tidur pules dulu biar nggak perlu ngasih duduk ke penumpang perempuan yang berdiri di depannya. Tenang, mas, saya masih kuat berdiri kok hehehehe…
“Respect was invented to cover the empty place where love should be.”
(Leo Tolstoy)