RSS

Tag Archives: resto indonesia di luar negeri

Restoran Indonesia: Diplomasi Sepiring Nasi

Tak mudah mencari restoran Indonesia di luar negeri. Selain terbentur berbagai peraturan dari pemerintah setempat, tak banyak WNI yang berani merintis bisnis di negeri asing. Kini, pemerintah tengah menggodok strategi kuliner Nusantara untuk go international.

Dua laki-laki dan seorang perempuan Kaukasia tengah menikmati semur, gado-gado, telur balado, sate ayam, dan nasi hangat yang disajikan di piring berwarna putih. Bir di meja masih berbuih, mengiringi percakapan seru dalam bahasa Jerman. Mantel tebal yang tergantung di kursi menandakan musim gugur belum berakhir.

Melangkah masuk ke dalam restoran yang berada di jalan Grossgoersschen, kondisi Berlin yang berangin dan muram langsung terlupakan. Alunan musik tradisional Sunda mengisi ruang dengar para tamu. Sementara itu, lampu-lampu penerangan sengaja ‘disembunyikan’ dalam lampu petromaks yang terbuat dari anyaman bambu. Dinding ruangan, yang semuanya dilapisi anyaman bambu, dihiasi lukisan-lukisan khas Bali. Sedangkan di dekat pintu masuk, terpajang beberapa tokoh pewayangan. Sangat Indonesia.

“Semua saya bawa langsung dari kampung,” kata Wido Sardjono, si empunya restoran yang berasal dari Salatiga. Ia mengambil alih kepemilikan restoran itu dari seorang Warga Negara Jerman yang pernah lama tinggal di Indonesia. Wido mengungkapkan pemilik sebelumnya begitu terpesona dengan Tuk-Tuk, suatu kampung di Pulau Samosir, sehingga memberi nama Tuk-Tuk untuk restoran yang dibesutnya.

Kendati berganti kepemilikan, menu yang disajikan tidak berubah. Tetap kuliner khas Nusantara. Justru di tangan Wido dan Laksmi, istrinya, keotentikan rasa menjadi lebih terjaga. “Saya mengimpor bumbu dari Indonesia, terutama yang tidak tersedia di Jerman, seperti ketumbar, kemiri, dan terasi,” aku lelaki yang semula dikirim ke Berlin untuk tugas belajar.

Wido mengaku tak mudah untuk mendirikan bisnis kuliner di Jerman. Banyak persyaratan yang harus ditaati. Mulai dari syarat administratif, seperti yang berkaitan dengan kewarganegaraan pemilik, pajak, dan kemampuan kuliner, hingga soal syarat kebersihan lingkungan dan higienitas makanan. “Secara berkala dan tanpa pemberitahuan, ada petugas yang datang mengecek dapur,” ungkap Wido. Selain memastikan kebersihan ruangan, si petugas juga akan mengukur temperatur piring!

Lebih lanjut, pria yang sudah hidup di Jerman sejak 1962 ini menuturkan menghangatkan piring dan gelas saji merupakan salah satu poin peraturan bagi bisnis kuliner di negara itu. Bukan untuk menghangatkan makanan yang tersaji di atasnya, melainkan demi higienitas. “Memulai bisnis kuliner di Jerman lebih sulit daripada di Indonesia. Banyak aturan yang harus dipenuhi,” kata Wido, yang mengaku tak bisa menyelesaikan pendidikan karena adanya pergantian pemerintahan di Indonesia.

Merujuk Strategi Gajah Putih

Bagi kebanyakan orang Indonesia, saat berkunjung ke luar negeri, menemukan restoran Indonesia bak mencari jarum dalam jerami. Tak banyak pengusaha yang (berani) membuka restoran dengan menu Nusantara di luar negeri. Padahal, apa daya, perut orang Indonesia selalu mencari Nasi beserta kawan-kawannya. Walau sudah diganjal roti – lengkap dengan aneka menu pendamping seperti telur orak-arik (scrambled eggs), daging asap, keju, plus minum segelas susu – rasanya seperti belum makan.

Selain Wido, Lalu Suhandi juga sempat mendirikan bisnis kuliner di Jerman. Selain menyajikan makanan Indonesia, seperti nasi goreng, rendang padang, dan tumis kangkung, kafe Lombok juga menyediakan bakso. Bahkan, restoran ini pernah memenangkan Gastro Award untuk kategori masakan Asia. Gastro Award adalah penghargaan yang diberikan oleh perkumpulan restoran dan rumah makan di Berlin. “Di kafe ini, penyanyi Sandhy Sondoro pernah mengamen untuk menyambung hidup di rantau,” ungkap Lalu, yang beristrikan perempuan berkebangsaan Jerman.

Menurut Djauhari Oratmangun, Dirjen Kerja Sama ASEAN, sebenarnya sudah banyak restoran Indonesia yang ada di luar negeri. Hanya saja, jumlahnya tidak melimpah. Seperti yang terjadi pada restoran dengan menu asing di negeri ini. “Di Belanda, ada hampir 1.000 restoran yang menyajikan masakan Indonesia. Di New York, nasi padang dan nasi rames yang paling berkembang dan dikenal,” kata Djauhari. Bahkan, di Eropa, terdapat sejumlah restoran Indonesia yang masuk dalam daftar restoran terbaik.

Vindex Tengker, executive chef The Dharmawangsa sepakat dengan pendapat Djauhari. Menurut Vindex, lidah masyarakat asing sebenarnya menerima masakan Indonesia. “Setiap kali saya mempromosikan masakan Nusantara di luar negeri, seperti ke Eropa, Australia, Amerika, maupun negara-negara Asia lain seperti Jepang dan China, masakan kita sebenarnya bisa diterima lidah mereka,” aku Vindex, seperti dikutip Swa.

Hanya saja, memang, ada beberapa chef restoran Indonesia di luar negeri yang kurang menguasai masakan Indonesia, sehingga mereka melakukan modifikasi masakan yang tidak murni. Ini terjadi, imbuh dia, karena belum ada standarisasi resep menu masakan Nusantara. Ia mengakui makanan Indonesia terkenal sulit dimasak. Pasalnya, selain memanfaatkan banyak bumbu, kuliner Indonesia juga banyak varian dan memiliki cita rasa yang berbeda di setiap jenis.

Chef yang menjadi juri di salah satu acara kuliner di stasiun swasta nasional ini menyoroti ketersediaan bumbu. Bagi Vindex, ketersediaan bumbu dan bahan masakan Indonesia di luar negeri merupakan kunci kesuksesan go global. Mengandalkan kekuatan rempah, kuliner Indonesia Indonesia kerap mendapatkan klaim sebagai sajian paling berbumbu kedua setelah India. Kelihaian memadukan bumbu dan rempah menjadikan masakan Indonesia terkesan unik dan sulit ditiru. “Banyak pecinta kuliner mengagumi cita rasa bumbu yang ada di dalam masakan Indonesia,” kata Vindex.

Sementara itu, Bondan Winarno, praktisi kuliner Nusantara menilai kekurangpopuleran restoran Indonesia di luar negeri, bila dibandingkan dengan restoran Asia lainnya, lebih karena masalah promosi. “Pemerintah Indonesia bisa meniru langkah pemerintah Thailand dalam mengambil strategi promosi kuliner tradisionalnya di luar negeri,” kata Bondan.

Seperti membaca pikiran Bondan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mengatakan pihaknya tengah menempatkan kuliner sebagai salah satu ekonomi kreatif dan mengidentifikasikan kuliner sebagai sektor yang akan dikembangkan. “Kami ada ide melakukan apa yang dilakukan Thailand. Pemerintah Thailand memfasilitasi restoran-restoran Thailand yang ada di luar negeri. Mereka sudah memiliki strategi makanan apa yang cocok untuk go international,” kata Menteri Mari, dalam jumpa pers akhir 2011 silam di Gedung Sapta Pesona, Jakarta.

Mari memberi contoh, restoran Thailand di luar wilayah negaranya selalu tersedia brosur pariwisata Negeri Gajah Putih itu. Dan, bukan tidak mungkin Indonesia akan melakukan hal serupa.

Mari menjelaskan, kuliner Thailand memiliki variasi yang banyak. Sedangkan Indonesia, memiliki variasi yang sangat banyak. “Kami tengah memilih masakan apa yang menjadi ikon Indonesia. Kalau sudah terpilih, akan kita susun standarisasinya,” ungkap dia. Mari memberi bocoran bahwa menu Nasi Goreng sudah pasti akan diangkat menjadi ikon kuliner Indonesia.

Namun, Bondan mengingatkan, di dunia kuliner bisa terjadi shared cullinary heritage atau pembagian warisan kuliner. Bukan tidak mungkin satu jenis makanan bisa ditemui di daerah lain, namun dengan cita rasa berbeda atau nama yang berbeda. Menu rawon, misalnya, di Pekalongan disebut garang asem. Padahal, garang asem versi Kudus berarti daging ayam yang dikukus dengan bumbu belimbing wuluh dan dibungkus daun pisang. “Jangan heran jika di Malaysia terdapat rendang yang selama ini kita kenal sebagai makanan dari Padang,” kata Bondan. $$$ ARI WINDYANINGRUM

(As published on Majalah DUIT! ed 02/Februari 2012)

 
Leave a comment

Posted by on August 1, 2012 in Smartpreneur

 

Tags: , , , , ,