RSS

Batik Semarang 16: Menawarkan Batik ‘Rasa’ Semarang

15 Mar

GambarMendirikan bisnis produksi batik ternyata tak mudah. Umi S. Adi Susilo menciptakan motif khas Semarang karena kota itu tak memiliki motif khas. Selain itu, Umi sempat mendapatkan komplain tetangga yang mengeluhkan makin banyak mobil customer yang terparkir di sekitar tempat usahanya.

“Setiap kali mengadakan pameran dan pelatihan membatik, saya selalu ditanya apakah ada batik Semarangan? Orang sudah mengenal batik Yogyakarta, Solo, Pekalongan, maupun Lasem, tapi tak ada yang mengetahui batik Semarang,” kata Umi S. Adi Susilo, pendiri Batik Semarang 16, membuka percakapan. Setelah melakukan riset, ia mengetahui Semarang sempat menjadi pusat produksi batik sejak jaman Kerajaan Mataram, terlihat dari adanya kampung kuno bernama Kampung Batik. Hanya saja, tradisi membatik itu hilang bersamaan dengan pembumihangusan sentra ekonomi Semarang oleh Jepang. Alhasil, “Semarang tak punya motif khas untuk batik,” keluh Umi.

Tak hanya berkeluh kesah, Umi mendirikan sanggar Batik Semarang 16. Sanggar batik ini selain memproduksi batik dengan motif karya sendiri, juga menggelar pelatihan membatik untuk masyarakat dan siswa sekolah. Dalam suasana keragu-raguan mengenai identitas batik Semarangan, Umi berkreasi menghasilkan batik dengan motif khas. Ciri khas karya Batik Semarang 16 adalah motif dan ragam hias yang mengambil inspirasi dari artefak dan kekhasan kota Semarang, seperti motif Lawang Sewu hingga Tahu Gimbal!

“Mencari ciri khas membutuhkan proses panjang. Termasuk di dalamnya menerima komentar minor soal keberadaan batik yang berani-beraninya menyebut khas Semarang,” aku Umi. Ia lalu melibatkan akademisi, ilmuwan, dan kalangan budayawan untuk menciptakan motif, memilih warna, dan mempelajari selera masyarakat sebelum melempar produk. Umi lalu menyebut nama sejarawan Dewi Yuliati dan arsitek Widya Wijayanti yang terlibat dalam pencarian motif Semarangan. “Saya mempertahankan tradisi riset,” tegasnya. Baik riset dalam penciptaan motif, pengkomposisian warna, maupun pembuatan inovasi desain fashion.

Warna Alami

Ketertarikan Umi S. Adi Susilo pada batik berawal ketika seorang kawan memamerkan koleksi batiknya, yang mencapai satu lemari penuh. Kagum dengan motif dan warna, Umi pun terdorong untuk mengetahui cara pembuatan batik. Selama delapan tahun, Umi memperdalam ilmu batik, hingga Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta. “Sayangnya, kebanyakan perajin batik ‘menutup’ ilmu mereka,” keluh pemenang UKM Berprestasi Femina 2008 ini. Selama memperdalam ilmu batik, Umi rela melakukan perjalanan pulang-pergi Jakarta-Semarang demi mengikuti pelatihan membatik di Museum Tekstil Jakarta.

Di rumah, Umi kerap mereproduksi batik-batik Belanda yang diproduksi di Semarang, seperti batik Ossterom dan Franquenmont. Setelah beberapa waktu, timbul keinginan untuk mengenalkan batik kepada masyarakat. “Awalnya, saya memberikan pelatihan membatik untuk kelompok ibu-ibu pengajian. Dari situ, pelatihan lalu meluas,” kata perempuan kelahiran Bekasi, Agustus 1970 ini. Baru kemudian, ia masuk ke sekolah-sekolah, dari tingkat SD hingga SMA. “Saya ingin melakukan regenerasi batik,” imbuh dia.

Dengan dukungan para pengajar di Museum Tekstil Jakarta, Umi merintis Semar 16 Batik Course, cikal bakal Batik Semarang 16, yang berlokasi di jalan Singosari, Semarang. Oleh karena pelatihan membatik tak hanya menggoreskan canting dan malam ke kain mori, tapi juga untuk proses pewarnaan dan penjemuran, Umi butuh lokasi yang lebih memadai. “Saya sempat mendapatkan komplain dari tetangga karena makin banyak mobil customer yang parkir di sekitar tempat usaha,” ungkap Umi, yang mengawali bisnis dari skala rumahan ini.

Sedari awal, Batik Semarang 16 memilih proses pewarnaan alami untuk batiknya.Ia menggunakan secang, jelawe, tingi, nila, somba, tunjung, tegeran, tawas, dan indigo. Proses pewarnaan alami ini butuh proses lebih lama daripada pewarnaan sintetis. Untuk mengatasi bau dan limbah pewarnaan batik, Umi bekerja sama dengan Universitas Diponegoro untuk membangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sederhana. Hingga kemudian, perempuan yang dikaruniai tiga anak ini memutuskan memindahkan lokasi workshop, pelatihan, dan galeri Batik Semarang 16 ke desa Sumberejo, kecamatan Tembalang, Semarang. Bangunan ini berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter persegi.

Di lokasi ini, terdapat beberapa unit bangunan, misalnya galeri sebagai ruang pamer, unit mencanting, unit pewarnaan, hingga sebuah joglo yang berada di tengah kolam. Di joglo ini Umi sering menggelar diskusi mengenai batik atau mengadakan pertunjukkan seni yang tak butuh tempat luas. “Saya memiliki konsep bahwa sanggar ini menjadi tujuan orang yang ingin belajar batik. Lebih jauh lagi, saya berharap kelak bisa menjadi museum batik meski berskala mikro,” ungkap perempuan yang pernah mendesain batik untuk kulkas dan mesin cuci keluaran produsen elektronik asal Korea Selatan ini.

Motif Terdaftar HAKI

Saat ini, perusahaan yang total investasinya mencapai Rp1 miliar ini telah memasuki masa panen. Setiap bulan, Batik Semarang 16 mencatatkan pendapatan hingga Rp100 juta per bulan dari memproduksi 1.000 yard batik. Akan tetapi, bukan kesuksesan finansial yang Umi cari. “Ada kebanggaan tersendiri ketika kita mampu melestarikan budaya dan memberdayakan masyarakat sekitar,” ucap pemenang The Best ExecutiveAward 2010 dari Citra ini.

Untuk memproduksi batik, Umi melibatkan 35 orang yang bekerja di sanggar batik itu. Sebagian besar dari mereka adalah kaum perempuan dari Metesih, wilayah di sekitar sanggar. “Kebanyakan mereka adalah peserta pelatihan sejak sanggar saya masih bernama Semar 16 Batik Course,” kata Umi. Lebih lanjut, Umi menjelaskan bahwa ibu-ibu pembatik ini menyelesaikan proses membatik di rumah. Baru setelah menyelesaikan selembar batik, mereka akan mengumpulkan ke tempat Umi untuk menerima upah. “Kegiatan ini turut membantu ekonomi keluarga mereka. Ada keluarga yang dulunya tak memiliki motor, sekarang bisa membeli motor,” ucap Umi, bangga. Selain menciptakan motif khas Semarangan, Batik Semarang 16 juga menerima pesanan batik dengan motif pesanan.

Sebagai identitas batik khas Semarangan, di antara ratusan motif yang sudah diciptakan tim Batik Semarang 16, terdapat 219 motif yang telah terdaftar di Ditjen HAKI. Umi membaginya ke dalam lima motif induk, yakni ikon semarang, seperti Tugu Muda, Gereja Blenduk, Blekok Srondol, Lawang Sewu, Jembatan Mberok, dan Asem. Untuk ikon Sejarah Semarang ada motif Cheng Ho dan Marabunta.

Sedangkan pada ikon Kuliner Semarang terdapat motif Lumpia, Mie Kocok, dan Tahu Gimbal. Adapun motif yang termasuk ikon Flora dan Fauna antara lain Merak Njeprak, Merak Mlerok Latar Asem, dan Cattleya. Adapun motif dengan ikon Kombinasi Klasik Kontemporer yang terdaftar di HAKI antara lain motif Parang Tugu Muda, Sido Roning Asem, dan Ceplok Cattleya. “Saya mendapatkan pendampingan dari Klinik HAKI UNDIP,” kata Umi.

Selain memproduksi dan mengadakan pelatihan batik, Batik Semarang 16 terus menyosialisasikan batik khas Semarangan ke berbagai kesempatan, misalnya mengikuti pameran maupun fashion show. “Anne Avantie, Lenny Agustin, Rudi Chandra, Taruna Kusumayadi, Jeanny Ang, dan sejumlah desainer papan atas Indonesia pernah mengekplorasi batik khas Semarangan dari kami,” papar Umi, bungah. $$$ ARI WINDYANINGRUM DAN JULIA WIRAYANTI (KONTRIBUTOR)

Batik Semarang 16
Desa Sumberejo, Kelurahan Meteseh,
Kecamatan Tembalang, Semarang
Telp : 024-707 88692, 0811289444
Pin BB: 23811C5D
E-mail : umi@batiksemarang16.net
Facebook: BatikSemarangEnamBelas
http://www.batiksemarang16.net

(As published on Majalah DUIT! edisi 04/VII/April 2012)

 
Leave a comment

Posted by on March 15, 2012 in Batik Addict

 

Tags: , ,

Leave a comment