RSS

Life is a Journey of Going Home..

Image

Jarang saya terburu-buru saat pulang kantor. Saya menikmati momen menunggu kereta, melihat mbak-mbak dan mas-mas berdesakan yang memaksa masuk ke gerbong biar bisa mencapai rumah secepat mungkin. Tak ada yang salah. Mungkin mereka ingin cepat kembali ke rumah, bertemu keluarga, memasak makan malam untuk anak dan suami, buru-buru istirahat karena besok harus berangkat subuh, atau mau nonton sinetron geje di televisi. Kalau saya, buat apa buru-buru toh tak ada yang memburu. Apalagi kereta lewat tiap 10-20 menit. Jadilah saya orang yang setia dan sabar menanti di peron demi mendapatkan kereta yang tak penuh sesak.

Menjadi komuter yang selalu naik KRL commuter line, benar-benar memangkas waktu perjalanan. Kalau dulu, saat saya masih naik bus, perjalanan pulang kembali ke rumah bisa mencapai 2-3 jam (tidak termasuk waktu menunggu di halte yang banyak nyamuknya itu). Waktu tempuh nggak jauh beda kalau naik taksi, cuma beda di ongkos (dan kenyamanan) aja. Sedangkan perjalanan naik kereta paling lama cuma satu jam, kalau lancar malah cuma 20 menit dari stasiun keberangkatan sampai tujuan. It nice, isn’t?

Rekor perjalanan terpanjang untuk sampai kembali ke rumah yang pernah saya alami adalah 22 jam. Perjalanan dari Berlin menuju Jakarta, sudah termasuk waktu transit di Amsterdam dan Singapore. Mati gaya di pesawat dan di airport? Pasti. Tapi, tak apalah. jaraknya emang jauh. Kalau menurut distance-calculator.co.uk, jarak antara dua kota itu 10.676 kilometer.

Gak seberapa bete kalo dibandingkan dengan perjalanan naik kereta api kelas ekonomi, dari Jakarta ke Surabaya, pas masa mudik Lebaran. Bisa lebih dari 24 jam. Padahal jarak tempuhnya 674 kilometer. Sebuah pengalaman yang nggak pengen banget diulangi. Begitu keluar kereta, badan kremethek kayak rempeyek abis diinjek-injek.

Akan tetapi, tak ada yang mengalahkan waktu tempuh pulang ke rumah keluarga besar di Yogyakarta yang mencapai *drum roll, please* 36 jam! Bisa diduga perjalanan itu dilakukan pas mudik lebaran, lebih tepatnya waktu puncak mudik. Karena waktu perjalanan normal Jakarta – Yogyakarta cuma sekitar delapan jam untuk jarak tempuh sekitar 443 kilometer. Memang sih waktu itu banyak berhentinya, seperti makan dulu di restoran, numpang nyolok charger di mesjid, plus nyasar-nyasar karena gak bawa peta (apalagi GPS). At that time, we just enjoyed the journey and the traffic jam.

Namun, sesungguhnya, perjalanan terjauh menuju pulang adalah ke dalam diri sendiri. Tiada perbedaan jarak, tapi waktu tempuhnya begitu lama. Bisa berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Ujung dari perjalanan ke dalam diri sendiri, yang berhilir pada mawas diri dan berhulu pada kenal diri, adalah samudra makrifat berupa pengalaman syahadat.

“When the traveler goes alone, he gets acquainted with himself.” (Liberty Hyde Bailey)

 
Leave a comment

Posted by on October 23, 2013 in Random Thought

 

Tags: , , , , ,

Real Journalists Don’t Clap

kamera dan kartu pers

I have found that it is getting incredibly difficult to find unbiased reporting. Well, to be honest covering news for a living can be hard because you will undoubtedly like or dislike the situations, companies, teams, businessmen/women, artists, athletes, or such politicians. It is human nature.

For sports reporters at a game, the rule is “no cheering in the press box”. For political reporters on Election Night, same thing. And that goes for business reporters at big product launch too. In the context of journalism, objectivity may be understood as synonymous with neutrality. This must be distinguished from the goal of objectivity in philosophy, which would describe mind-independent facts which are true irrespective of human feelings, beliefs, or judgments.

Journalist must acknowledge, humbly and publicly, that what they do is far more subjective and far less detached than the aura of “objectivity” implies. This will not end the charges of bias, but will allow journalists to defend what they do from a more realistic, less hypocritical position. Journalist must also need to be freed to identify, explain, and make judgement about what readers and viewers need to know to understand what is happening.

However, many professionals believe that true objectivity in journalism is not possible. Reporters must seek balance in their stories (giving all sides their respective points of view), which fosters fairness. And they work for corporations whose their first duty is to make money and their second duty is “to lie conveniently”.

 

“You can’t do clear observation if you ain’t in the field. You can’t be a pure observer if you’re now in the field.” (Toba Beta, Betelgeuse Incident)

 
Leave a comment

Posted by on October 16, 2013 in Random Thought

 

Tags: , , ,

Video

Lost in Space

Lost in Space is a song by the Lighthouse Family, one of my favorite duo/group. The song was released in June 1998 and I fell in love with it since then. Unfortunately I couldn’t find their original music video on Youtube.

Lost in Space was Lighthouse Family’s third pop single for their second album Postcards From Heaven (1997), after Raincloud and High. The song reached the top 40 in Europe and the top 10 in UK (it stayed in the charts for 8 weeks). Enjoy the music!

 
Leave a comment

Posted by on October 6, 2013 in Musiclicious

 

Tags: ,

Uncle Sam “Tutup Warung”

Image

Sejak kemarin malam saya mendengar kabar kalau Pemerintah AS “Tutup Warung”. Mengejutkan. Ibaratnya sebuah warteg yang kekurangan modal, mereka gak bisa lagi pergi ke pasar buat belanja sayur, masak, dan bayar pegawai warteg. Kalo si Inah dan si Pardi, para penjaga warteg pengen tetep kerja, ya monggo tapi gak bakalan digaji. Duitnya sih sebenernya ada tapi masih dibawa si emak, sialnya Paklik Samsudin – si pemilik warung lagi berantem sama si emak yang tidak lain dan tidak bukan adalah mertuanya sendiri.

Kongres AS bertanggung jawab menggelontorkan dana buat ‘warteg’ ini. Caranya dengan meloloskan UU Anggaran. Tahun Anggaran baru di AS dimulai pada 1 Oktober 2013, yang berarti kemaren. Sayangnya, Kongres tidak mencapai kesepakatan. Walhasil, pemerintah AS nggak punya dana lagi dan memperlambat (atau mungkin menghentikan) operasional sampai ada kucuran dana. Duit men, duit..

Anggota legislatif AS tidak bisa mencapai kesepakatan karena Partai Republik dan Partai Demokrat berbeda pendapat dalam satu hal, yakni menyediakan asuransi kesehatan bagi jutaan warga AS. Para anggota Partai Republik di Senat menolak menandatangani RUU pendanaan yang didalamnya ada program perawatan kesehatan –yang dikenal dengan Obamacare. Sedangkan anggota Partai Demokrat di DPR negara itu menolak meloloskan RUU Anggaran kalo di dalamnya gak ada Obamacare. Nah lo, buah simalakama kan?

Sebenernya aksi “tutup warung” ala pemerintah AS sudah terjadi beberapa kali. Sejak 1977 udah terjadi tujuh belas kali malah! Penghentian operasional pemerintahan paling lama terjadi pada 1995-1996, selama tiga minggu, yakni mulai 16 Desember 1995 sampai 5 Januari 1996. Pada saat Bill Clinton jadi Presiden dan Newt Gingrich jadi ketua DPR. Waktu itu mungkin gak begitu kerasa secara lagi pada libur Natal. Kalo kata si Inah dan si Pardi, mending mudik aja mbak daripada kerja tapi gak dibayar pakbos.

Aksi “tutup warung” ala pemerintah AS ini dilakukan dengan cara menutup operasional beberapa institusi pemerintah. Badan-badan Federal bakal ngasih tau stafnya siapa aja yang masuk daftar esensial dan non-esensial. Para staf esensial wajib terus kerja, gajinya bakal dibayarkan kalau RUU itu disahkan. Baru kali ini pemerintah AS bayar pake mata uang YEN. Yen ono duite hehehe.. Sementara para staf non esensial disuruh berlibur dulu di rumah, ngadem, dan gak digaji.

Para staf esensial harus menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, seperti petugas di pantai, bea cukai dan perbatasan, bandara, pemeriksaan penumpang dan kargo, penahanan penyelundup narkoba dan imigran gelap, dan agen rahasia. Di masa ini, sistem verifikasi elektronik tidak dianggap esensial, sehingga status imigran pelamar kerja tidak dapat diakses secara elektronik. Harus manual. Yang sabar ya nak.. *puk-puk*

Hampir 2,2 juta orang yang bekerja untuk pemerintah federal, termasuk pegawai negeri, pegawai sipil di militer, dan peerja kantor pos kena “cuti paksaan”. Begitu juga NASA, kecuali pengendalian misi di Houston (mungkin mau minta bantuan alien?), taman-taman nasional, museum Smithsonian, dan Kebun Binatang Nasional semua pada tutup.

Dari jumlah itu, sekitar 800.000 orang dianggap sebagai staf non-esensial, sehingga diberi cuti tanpa digaji. Kata pemerintah AS, kalo para pekerja itu terlalu rajin, maksudnya udah disuruh cuti tapi tetep ngantor, ya monggo aja. Tapi di kantor gak boleh ngapa-ngapain, termasuk ngecek e-mail. Mereka cuma boleh mengumpulkan dan mengembalikan peralatan federal, seperti telepon atau komputer. Kalo mau ngobrol, update blog, maen games, atau fesbukan di kantor, hayahh.. ngapain juga di kantor? Wong kantornya pada tutup..

Masalah belum berakhir. Ada ancaman baru yang dihadapi Negara Adidaya itu: bangkrut! Menteri Keuangan AS, kemarin mengatakan, kalau sampai 17 Oktober 2013  nanti gak ada kata sepakat untuk batas kenaikan utang baru, maka Pemerintah AS bakal kehabisan dana untuk memenuhi segala kewajibannya. Sayang, menteri keuangan tidak merinci utang mana aja yang kemungkinan gagal bayar (gak mungkin banget nunggak kredit sepeda motor pastinya..)

Pak Menkeu Jacob Lew sudah mengirim surat kepada Ketua Kongres Johh Boehner bahwa penutupan sebagian operasional pemerintah AS, yang disebabkan kekurangan anggaran, tidak akan mengubah proyeksi Kemenkeu. Selama ini Kemenkeu mengaku sudah melakukan penghematan dengan menggunakan “langkah-langkah khusus” untuk menyesuaikan anggaran dan tetap bisa membayar pengeluaran negara, mulai dari bayar gaji pegawai, pensiunan, sampai bayar utang.

Tapi, mister Lew mengatakan, langkah-langkah khusus itu kini sudah tak mampu lagi menahan semakin keringnya kas keuangan negara dan membutuhkan utang baru pada 17 Oktober. Sampai tanggal 17 besok, Kemenkeu harus menjalankan komitmen pemerintah hanya dengan anggaran US$30 miliar. Selanjutnya, entah. Padahal, pengeluaran negara itu butuh dana paling sedikit US$60 miliar. Ebuset, cuma ada separonya boo..

Negara dikatakan bangkrut jika memiliki rasio utang terhadap GDP di atas 100%. Seperti pelajaran ekonomi paling dasar, kalo utangnya lebih gede dari pendapatan ya berarti bangkrut. Awal Agustus 2012, IMF merilis 10 negara yang memiliki presentase utang terhadap GDP di atas 100%. Jangan kaget pas baca, sebab kalo dilihat dari tampilannya mereka perlente banget. Negara-negara ini antara lain Singapura (rasio utang terhadap GDP 101%), Amerika Serikat (103%), Irlandia (105%), Portugal (107%), Barbados (117%), Italia (120%), Libanon (136%), Jamaika (139%), Yunani (161%), dan Jepang (230%).

Apa yang terjadi pada Negara Adikuasa macam Amerika bisa terjadi di negara mana pun. Di Eropa sudah ada beberapa negara yang dinyatakan bangkrut, seperti SIprus, Yunani, Irlandia, atau Portugal. Namun, para menteri keuangan zona Uni Eropa sepakat memberikan dana bantuan (bailout) untuk negara-negara tersebut agar masih tetap bisa beroperasi, meski dengan kemampuan minim.

Lalu, apa yang terjadi saat negara bangkrut? Tentu saja gak ada duit yang berputar. Pasar saham akan crash, pengusaha akan menutup bisnis, ekspor dan produksi susah, orang bakal melakukan segala cara untuk mendapatkan makanan (termasuk korupsi dan nyolong), sistem negara pun jadi ala hukum rimba – apalagi diperparah aparat keamanan yang gak digaji pemerintah, gimana mereka mau menjaga negara?

Dan, yang pasti, semua lembaga keuangan gak bisa menjalankan operasionalnya. Bayangkan saja, Anda punya simpanan duit puluhan atau ratusan juta di bank di bank tapi gak bisa tarik tunai, karena emang duitnya gak ada. Stres kan? Masih mending mereka yang nyimpen duit di celengan ayam. Cukup pecahin celengan bisa dapet duit buat beli makan, tapi masalah yang timbul kemudian ada toko/warteg yang buka gak? Nightmare.

Ketika sebuah negara bangkrut, seluruh pendanaan pemerintah bakal dihentikan (gak ada lagi biaya jamian kesehatan, pendidikan, pertahanan, keamanan, apalagi mau mbangun jalan dan jembatan. Impossible). Negara juga bakal menghentikan pasokan listrik, BBM, gak ada aparat kepolisian dan militer yang bekerja, toko-toko kehabisan stok makanan dan selanjutnya, dan selanjutnya, dan selanjutnya.

Kondisi ini pernah terjadi di Argentina, pada 1999. Saat itu orang-orang kaya mengambil uang mereka, totalnya US$40 miliar, trus ngabur ke luar negeri dalam satu malam. Kondisi itu mengakibatkan perbankan kolaps dan meruntuhkan nilai mata uang. Saking desperate-nya, banyak warga Argentina yang tidur di depan mesin ATM. Berharap keajaiban. Mesin ATM bisa mengeluarkan duit — yang sebenernya duit milik mereka sendiri.

Pemerintah setempat lalu membekukan semua rekening bank untuk satu tahun, hanya memungkinkan orang untuk menarik sejumlah kecil sebesar U$250 per minggu. Gak ada lagi orang kaya dan orang miskin, lo punya duit berapa pun yang bisa lo ambil cuma segitu. Selain itu, tahun lalu, presiden Argentina Christina Fernandez memutuskan untuk menasionalisasikan perusahaan minyak YPF-Repsol, yang notebene milik Spanyol yang beroperasi di negara itu. Banyak pihak yang protes. Tapi pemerintah bersikukuh ini demi kepentingan rakyat dan negaranya.

Well, guys, ini bukan skenario film. Ini kondisi riil. Benar terjadi apa adanya. Semua ini berkaitan dengan sistem perekonomian dunia. Mari berdoa semoga Indonesia gak bangkrut. Suka gak suka, saya masih hidup dan mencari kehidupan di negara ini. Mungkin langkah bijak bisa mengikuti petuah nenek moyang kita dulu, ra sah kakean ngutang. Nek mampune semono yo semono wae.. Tapi, hm, utang gak selamanya buruk. Buruknya pengelolaan utanglah yang membuat keadaan makin memburuk. Betul? Betuulll..

 “I sincerely believe that banking establishments are more dangerous than standing armies, and that the principle of spending money to be paid by posterit, under the name of funding, is but swindling futurity on a large scale.” (Thomas Jefferson)

 
Leave a comment

Posted by on October 2, 2013 in Dunia Dalam Berita

 

Tags: , , , , , , , , , ,

Readers Don’t Want to Wait until Tomorrow

Image

Satu dekade lalu, untuk mendapatkan berita, masyarakat Indonesia masih mengandalkan koran, majalah, televisi, atau radio. Kini, masyarakat mulai beralih ke internet. Adanya koneksi internet di berbagai gadget, mulai laptop, tablet, iPad, hingga telepon selular (ponsel), memungkinkan masyarakat mengakses sumber berita lebih cepat, tanpa harus menunggu koran esok hari atau majalah yang terbit minggu depan, atau siaran TV nanti malam.

Akamai Intelligent Platform menerbitkan State of the Internet Report terbaru. Menurut laporan itu, kini ada 733 juta alamat IPv4 individual dari 243 negara/wilayah. Angka ini memperlihatkan bahwa penetrasi internet global tumbuh 10% per tahun. Dari laporan berbeda terungkap bahwa di Indonesia, sebanyak 13% dari total penduduknya atau sekitar 30 juta orang telah menggunakan internet. Data ini tentu mengubah peta industri media konvensional. Mereka harus mau menyesuaikan diri jika ingin tetap bertahan.

Menurut World Association of Newspaper, ada perbedaan antara media lama dan media baru. Karakteristik media lama adalah kontrol berada di tangan pemilik, iklan disajikan untuk semua orang, ukuran produknya sama, diterbitkan dan didistribusikan sekali, serta penjualan yang fokus pada brand awareness. Sedang karakteristik media baru adalah kendali ada di konsumen, hanya terbit sekali namun didistribusikan berkali-kali, serta fokus penjualan pada preferensi, daya beli, dan retensi.

Selain itu, masyarakat masa kini mengkonsumsi informasi dari berbagai platform. Kalau di media cetak hanya pada jam-jam tertentu, media online—karena kepraktisan dan kecepatan penyajian—menjadi bisa sepanjang waktu. Menurut Survei Digital Kompas pada 2012, di pagi hari antara jam 05.00 hingga 07.00 masyarakat cenderung mengakses berita melalui koran dan televisi. Memasuki jam 10.00 hingga 13.00, masyarakat mengakses informasi melalui televisi atau jejaring sosial (internet) baik melalui gadget PC, laptop, atau ponsel. Sedang malam hari masyarakat mengakses berita melalui televisi.

Dari sisi kedalaman berita, media cetak hanya bisa masuk pada tahap pengembangan, tindak lanjut, dan kesimpulan. Sebab, masyarakat harus menyediakan waktu khusus untuk membaca koran atau majalah. Sedang media online dan televisi bisa diakses secara lebih fleksibel dan lebih cepat. Namun, tak bisa dipungkiri, validitas masih dipegang oleh media konvensional, seperti koran dan majalah.

Dari kacamata bisnis, menurut Bryne Partnership Limited, sejak 2009 hingga 2012 terjadi penurunan porsi iklan di media cetak. Sementara iklan di internet meningkat, walau itu didominasi oleh search engine seperti Google dan Yahoo (70% dari share internet). Sedang data dari World Association of Newspapers and News Publishers (WAN IFRA) 2011, untuk Asia Tenggara menunjukkan bahwa media televisi mendominasi perolehan iklan, diikuti media cetak dan online.

Itulah perubahan yang terjadi di bisnis media sekarang ini. Walau baru memiliki pengalaman satu dasawarsa lebih sedikit di bisnis media, saya merasakan sekali betapa perubahan di bisnis ini begitu cepat. Saya pernah memimpin sebuah media yang harus ambruk gara-gara kami tak siap (atau belum siap) menghadapi segala perubahan ini, terutama dari sisi perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat dan perubahan profil demografi pembaca.

Untuk bisa selamat, para pemimpin media tak bisa lagi hanya berharap keberuntungan oplag penjualan di lapak –apalagi menyombongkan diri karena memiliki sekian reporter siap tempur. Pesaing utama media saat ini adalah citizen journalism. Hanya dengan mengabarkan via jejaring sosial, semua orang tahu. Bahkan, reporter pun kadang mengetahui ada kejadian penting setelah memantau dunia maya.

Profil demografi pembaca yang semakin muda membuat cara pembaca dalam mencari berita pun berubah. Jika dulu mereka masih mau menunggu koran esok pagi, kini tidak lagi. Pembaca ingin mendapatkan informasi lebih cepat (dan tentu saja seharusnya tetap tepat dan akurat!). Bahkan, kalau bisa, berita terbaru dapat mereka ketahui dalam hituangan detik. Di sini, media online, televisi, dan radio jauh lebih unggul ketimbang media berbasis cetak –yang membutuhkan sekian waktu untuk menyelesaikan segala proses produksi.

Perubahan selera konsumen dan adanya media elektronik tentu mengubah wajah industri media. Bagi pelaku media konvensional yang tidak cepat tanggap, mereka akan tergulung dan kehilangan pembacanya (trust me, it’s really happen). Namun, bagi media yang sadar dengan fenomena ini, mereka bisa mengubah ancaman menjadi peluang. So, be prepared!

(a sneak peek of my next book)

“New media is like a megaphone. It amplifies your ability to reach more people.” (Mark Batterson)

 
Leave a comment

Posted by on September 30, 2013 in Pariwara dan Para Pewarta

 

Tags: , , , , ,

Image

Surrender to the Wind

Surrender to the Wind

Something amazing happens when we surrender and just live to love. We melt into another world, a realm of power already within us. The world changes when we change. The world softens when we soften. The world loves us when we choose to love the world.

 
Leave a comment

Posted by on September 30, 2013 in Random Thought

 

Tags: , , ,

An In-betweener

Image

Kalo saja ada organisasi nirlaba yang memberikan Move On Award kategori Per-galau-an, mungkin saya bakal mendaftarkan diri. Siapa tahu menang. Banyak keputusan untuk move on yang saya lakukan sepanjang tahun ini. Ada yang berhasil, ada yang gagal (baca: masih juga galau melangkah).

Keputusan move on paling heroik saya lakukan di awal 2013. Dengan gagah berani saya mengajukan surat pengunduran diri ke pakbos supergeje. Banyak alasan yang mendasari keputusan itu. Tak perlu saya sebut semua. Namun, satu hal yang pasti saya mengambil keputusan itu demi diri saya. Saya ingin menerima kesempatan baru dan orang-orang baru yang bisa membuat hidup saya lebih bahagia.

Percayalah, menjadi seorang jurnalis bisa membuat Anda memenangkan dunia. Tapi tidak membuat Anda memenangkan kehidupan pribadi Anda sendiri. But, still I am proud to be a journalist. Menjadi freelance journalist memberikan saya kesempatan untuk berada di dua dunia – antevasin, in-betweener, sebelum saya yakin untuk menapaki dunia baru. Saya yakin untuk profesi apapun yang menuntut komitmen 100% pada tugas dan Anda berniat berpindah haluan, hal ini juga bakal berlaku. Semuanya pake step by step cyynn.. Nggak bisa langsung pindah jebret. Ntar kaget.

Bila saatnya tiba, saya akan menyerahkan diri sepenuhnya pada kehidupan yang paling pribadi: keluarga. Saya ingin menjadi istri dan ibu yang baik. Sebuah babak baru. Saat ini saya sedang belajar menapaki fase itu. Meski belum tertebak endingnya, satu hal yang pasti, saya amat bersyukur dan menikmati fase dan kesempatan ini. Saya anggap ini sebagai jembatan bagi saya untuk 100% move on.

Saya yakin ketika saya berani melangkah, pasti ada kehidupan yang lebih baik di depan saya. Bukankah kita tidak bisa menemukan hal-hal baru (dan baik) di luar sana kalo kita nggak berani jalan ke garasi, buka pintu mobil, menghidupkan mesinnya, dan memacunya ke tempat tujuan kita?   *eits, tentu saja sudah pake acara buka pintu garasi ya, kecuali Anda memang berniat menabraknya hehehehe…*

“It’s for the best. I know it is. I’m choosing happiness over suffering. I know I am. I’m making space for the unknown future to fill up my life with yet to come surprises.” (Elizabeth Gilbert, Eat, Pray & Love)

 
Leave a comment

Posted by on September 29, 2013 in Random Thought

 

Tags: , , , , , ,

Image

Terjatuh

Terjatuh

Mengapa yang jatuh mengaduh? Karena yang jatuh tak lagi akan utuh. Begitu pula jatuh Cinta. #romantismegeje

 
Leave a comment

Posted by on September 28, 2013 in Random Thought

 
Image

Peacefully Move On

Peacefully Move On

The truth is, unless you let go, unless you forgive yourself, unless you forgive the situation, unless you realize that the situation is over, you cannot move forward. But sometimes, the hardest part isn’t letting go, but rather learning to start over.

 

 
Leave a comment

Posted by on September 23, 2013 in Random Thought

 

Tags: , , ,

Video

Da Vicky Code

Sebenernya, secara nggak sengaja saya nonton acara press conference pertunangan Zaskia Gotik (Goyang Itik, bukan Gothic yang aliran seni bangunan itu..) dan Vicky Prasetyo (yang belakangan baru diketahui kalo itu juga nama alias dari Hendaryanto) di acara gosip Cek & Ricek di RCTI. Waktu itu, saya udah mulai curiga dengan bahasa-bahasa aneh yang dari si tokoh pria ini.

Oleh karena nontonnya hanya sepintas lalu, saya pikir cuma kuping saya yang error atau otak saya yang lagi hang. Tapi, begitu video editannya muncul di Youtube, saya baru ketawa ngakak. Ooohh.. ini toh yang kapan hari itu. Ternyata emang bahasanya yang kacau, bukan saya yang kurang intelek hehehe..

Berikut quotation dari si mas Vicky:
“Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi, karena basically aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.”

“Kita belajar, apa ya, harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan.”

“Dengan adanya hubungan ini, bukan mempertakut, bukan mempersuram statusisasi kemakmuran keluarga dia, tapi menjadi confident. Tapi, kita harus bisa mensiasati kecerdasan itu untuk labil ekonomi kita tetap lebih baik dan aku sangat bangga…”

*hening sejenak* *berpikir keras*

Apakah Anda merasakan apa yang saya rasakan? Kalimat-kalimat yang diucapkan mas Vicky memang setinggi langit. Sungguh sulit untuk dipahami. Rumit. Ini adalah Da Vicky Code yang harus segera dipecahkan!

BIsa ditebak, di tengah masyarakat Indonesia yang gampang banget terpengaruh ini kata-kata mas Vicky ini lantas jadi booming. Diikutin. Maka, timbullah aliran Vickynisme atau Vickynisasi. Kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, kudeta, statusisasi bla bla bla..

Menurut Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud), Sugiyono, seperti dikutip Republika, wabah bahasa Vickinisasi ini termasuk penyakit bahasa. Dalam ilmu linguistik disebut intervensi. Orang menggunakan menggunakan bahasa Indonesia dicampur asing walau tidak pas.

Menurut Sugiyono, apa yang terjadi pada fenomena ‘Vickinisasi’ sebanarnya lebih pada penyakit gejala sosial daripada gejala linguistik. Ia menciptakan istilah bahasa-bahasa baru, agar dipandang pintar oleh masyarakat yang lain.

Si Vicky ini seolah menjadi gambaran orang-orang jaman sekarang (termasuk para pejabat negeri ini, yang tak akan saya sebut nama daripada ntar kena UU ITE hehe..). Biar keliatan keren dan pinter mereka pake basa Indonesia gado-gado. Dan, sialnya (atau hebatnya) istilah-istilah kacau ala Vicky ini secara sadar maupun tidak sadar diikuti oleh masyarakat. Termasuk saya, atau mungkin juga Anda. Mungkin ini sebuah konspirasi kemakmuran agar tak terjadi labil hati.

Ah, saya jadi inget pengalaman pengen nampol orang-orang yang ngomong ciyus miapah akhir tahun lalu. Percayalah, gejala (atau kata si bapak ini penyakit) bahasa Vickinisasi ini gak bakal bertahan lama.

 
Leave a comment

Posted by on September 14, 2013 in Bicara Bahasa

 

Tags: , ,